Ghea mengeleng cepat.

Zega melirik mata Ghea, "lo barusan nangis," katanya.

Ghea terkejut, ia langsung linglung ingin mengucapkan apa lagi. "Ah, enggak, kok. Mata aku kelilipan tadi."

"Lo bohong sama orang yang salah."

Ghea menutup mulutnya rapat. Ia menatap Zega dengan pandangan terkejut. Bagaimana lelaki itu bisa tahu, apakah Ghea memang terlihat seperti orang bodoh dengan alasan konyolnya? Tapi, Ghea merasa alasannya tak terlalu konyol. Gadis itu akhirnya menunduk, binggung ingin menjawab apa.

"Nggak apa-apa kalau lo nggak mau cerita, gue gak maksa." Zega berbicara ketika melihat Ghea yang nampak terusik dengan ucapan sebelumnya.

Ghea mengangguk. "Kamu kok bisa disini?"

Zega tertawa. "Ah iya, soalnya itu rumah masa kecil gue," kata lelaki itu sambil menunjuk rumah besar berwarna coklat yang sudah rusak, warna temboknya memudar, dan temboknya retak dibeberapa sisi. Pagar depannya bahkan ditumbuhi tumbuhan liar yang merambat sampai tembok rumah. Bener-bener seperti rumah angker di film-film horor, tapi Ghea sama sekali tak takut, karena nyatanya dunianya lebih mengerikan.

Zega mengenang sesaat. Mengingat rumah itu, rumah kebahagiaan, keceriaan dan kenyamanan. Dulu ... Disini tempat Zega menghabiskan masa kecilnya yang bahagia. Hingga pada umur delapan tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah dari sini. Ah, iya, lapangan basket kesayangannya ini juga. Ringnya sudah berkarat dan jaringnya bolong. Lapangannya juga sudah tak seperti dulu lagi. Lantai semennya pecah-pecah dan jaring yang mengelilinginya bolong dimana-mana.

"Dulu kalian tinggal disini?" tanya Ghea tak percaya, semuanya terdengar begitu membingungkan.

Zega mengangguk. "Iya. Gue sayang sama tempat ini, sama rumah ini, sama suasana disini. Karena sekarang ... Semuanya gak bisa diulang lagi, maybe itu yang disebut kenangan, kan?"

Ghea terkesiap sebentar sebelum akhirnya mengangguk membenarkan. Kenangan. Apakah semua kenangan itu menyenangkan? Karena selama ini, dia cuma punya kenangan buruk.

"Btw, kenapa lo bisa ada disini?" tanya Zega, pertanyaan yang sangat ingin dia tanyakan sedari awal melihat keberadaan Ghea disini. Begitu mengejutkan.

"Aku nggak sengaja ketemu dan langsung suka, udah sejak lama. Maaf, kalau kamu nggak suka aku nggak bakal kesini lagi, kok."

Zega tertawa. "Lo terlalu negatif thinking, gue senang, kok. Datang aja terus, nggak apa-apa. Tempat ini memang menyenangkan, walaupun dilain sisi buat gue sedih."

Ghea mengernyitkan keningnya binggung. Namun, terlalu malu untuk bertanya. Mereka cuma dua orang asing, yang tak sengaja bertemu.

Zega melirik rumah itu sebentar, sebelum akhirnya pandangannya beralih kembali kepada gadis disampingnya. "Mau masuk nggak?" tawarnya.

"Serius?" tanya Ghea, bener-bener tak menyangka.

"Emang muka gue, muka-muka nggak memungkinkan ya?" tanya balik Zega memandang Ghea tanya.

Ghea nyengir. "Enggak sih."

"Yaudah, mau masuk ngak, gue sempat check baru-baru, buku-buku di atap masih bagus," kata Zega bergegas duluan meningalkan Ghea.

"Buku?" Ghea berpikir sejenak dan tersadar. "Mau!" jawab Ghea cepat segera bangkit dari duduknya dan menyusul Zega.

Saat sampai di pekarangan rumah tersebut, Zega mendorong gerbang berkarat itu kencang, menimbulkan suara besi yang berdenging karena sudah lama tak bergerak. Keduanya bergegas masuk. Di pekarangan depan rumah, ada ayunan tua yang bener-bener sudah rusak, seperti pohon besar disampingnya.

"Punya siapa?" celetuk Ghea tiba-tiba. Terlalu penesaran bahkan hanya dengan ayunan itu.

"Oh itu, punya Clea, adik gue." Zega menjawab sambil melirik dalam ayunan itu. Kenangan yang menyakitkan dan menyenangkan.

Ghea menganguk mengerti.

Zega kemudian mengeluarkan satu set kunci, dan mengarahkan salah satunya ke lubang kunci di pintu berwarna coklat pudar itu.

Pintu itu berdecit nyaring. Saat terbuka, bau ruangan lama langsung menyeruak kedalam indera penciuman keduanya. Zega masuk lebih dulu, Ghea melihat ruang tamunya yang sudah berdebu, disudut kiri ada sofa panjang yang sudah lapuk, dan dipojok kanan ada tangga ke lantai atas. Saat Ghea menyelunsuri tangga itu dibelakang Zega, ia melihat sebuah kertas yang sudah tertutup debu, Ghea mengambil dan menyikap debu itu dari kertas yang sudah menguning tersebut.

Happy birthday my Hero!
36 years old, its amazing!
We love u Daddy!
10 November 2011.
From: mommy, Axel, Lea.

Tulisan cakar ayam bertinta emas yang sudah luntur diatas kertas putih itu, membuat Ghea menebak-nebak seharmonis apa keluarga lelaki didepannya itu. Bener-bener bahagia sepertinya.

"Ini punya kamu?"

Zega yang baru saja ingin menaiki tangan rewot terakhir itu menoleh, mata elangnya menatap kertas ditangan Ghea.

Zega meraihnya pelan, ia membaca dengan perasaan hancur. Kenangan manis itu kembali berputar di memorinya. Kehampaan yang mengisi hatinya semakin dalam. Pelan-pelan merasa begitu sesak.

"Keluarga kamu kayaknya harmonis banget, ya?" kata Ghea, entah kenapa dia senang sekali menanyakan banyak hal pada Zega. Namun dilain sisi dia merasa terkesan terlalu ikut campur. Apalagi melihat perubahan wajah Zega. "Maaf, kalau aku banyak nanya."

Zega mengembuskan napas berat. "Nggak seperti yang lo pikirkan."

Ghea mengerutkan keningnya binggung, tapi kemudian ia mencoba tak terlalu kepo dengan urusan orang lain. Karena baik Zega maupun dirinya terlalu banyak rahasia.

"Keluarga lo gimana?"

Ghea memejamkan matanya sesaat, ia melirik kesamping dimana ada jendela berdebu yang langsung terarah ke hamparan lautan lepas. Tangannya bergerak mencoret debu disana membentuk emoticon tersenyum.

"Aku dilahirkan dari keluarga yang utuh, namun dibesarkan dengan kehancuran."

***

Ghea [PROSES PENERBITAN]Место, где живут истории. Откройте их для себя