[4.2] Pengkhianatan

44 9 12
                                    

.

.

.

.

.

.

.

...

...aku sedang berjalan.

Menyusuri lorong kegelapan, pandanganku kabur, dan panca indraku hampir tak berfungsi. Yang jelas, aku sedang berjalan, menyusuri lorong gelap.

Sendiri?

Ya, aku,

Ah.

Aku tidak sendiri.

Ada seseorang di sebelahku.

Siapa...? Entahlah, tubuhku tak mau bergerak sesuai keinginanku. Aku merasa seperti berada di tubuh orang lain dan hanya bisa diam, mengikuti apa yang akan dia lakukan. Tapi, entah kenapa aku tidak begitu merasa asing dengan tubuh ini. Rasanya sangat kukenal, tapi juga sangat asing... Entahlah, itu gak penting.

Pokoknya aku berjalan, walaupun terasa seperti menonton film, tapi ini juga terasa nyata.

Kemudian ada... Partikel tak jelas yang bergerak-gerak di depan mataku. Lebih kelihatan seperti lalat-lalat putih, sih.

Tapi... Partikel itu tak kunjung menghilang, mereka terus berputar-putar di depan mataku.

Justru, pandangan sekelilingku yang perlahan terlihat lebih jelas. Suara hembusan angin dan kendaraan yang terkadang lewat, juga suara kehidupan orang di sekitar terdengar. Angin lembut dan sorot matahari hangat mulai menyambangi kulitku.

Aku melihat ke atas.

Langit biru cerah berawan putih.

Ah, indahnya.

"--terus kan, eh? Lintang! Denger, gak!? "

Suara melengking imut itu berasal dari sosok yang berjalan di sampingku. Aku menoleh, dan mendapati sosok gadis manis di sana.

"Maaf, cuaca hari ini sangat cerah, saking cerahnya aku mulai curiga akan ada badai. "

Dengan manis ia sengaja memasang wajah marah, lalu berkata,

"Ah, kamu nyebelin! Kalau main sama aku bosen ya bilang aja! "

Namanya Nadya. Wajahnya memang tak terbilang cantik, tapi dengan sikap aktif yang menawan itu, aku tak bisa bilang aku tak tertarik.

Hidupku terselamatkan olehnya.

Setelah aku mencoba mengakhiri hidup waktu itu, dia tiba-tiba masuk ke kehidupanku dan sekarang kami sudah saling sadar bahwa kami membutuhkan satu sama lain.

...atau, itu yang ingin kukatakan, karena sebenarnya aku tak tahu bagaimana perasaanya.

Tapi, aku yakin aku tak bisa hidup tanpanya sekarang. Mungkin itu berlebihan, tapi hidupku tanpanya sangat--tak terbayangkan.

Apa kami berpacaran?

Tidak, seperti yang kukatakan tadi, aku membutuhkannya tapi mana kutahu apa dia memandangku dengan cara yang sama.

Kami bertemu sekitar satu atau dua kali seminggu, untuk main atau belangsatan ke tempat acak. Dan momen sekarang adalah salah satunya.

Aku ingat hari ini hari libur, dan kami menggunakan hari ini untuk bermain.

Ah, aku sangat bahagia saat itu. Seolah aku berada di puncak dunia dan bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan. Tapi, aku tidak punya banyak keinginan. Hanya dengan berada di sampingnya dan melihatnya bahagia... Tak ada lagi yang aku inginkan.

won't regret.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora