Hanya Dia Yang Ada Dimatamu (I)

992 168 18
                                    

Mei, 1945

Sasuke berdiri ditepi teluk Tokyo, kedua tangannya Ia masukkan kedalam saku celananya. Oniksnya menatap lurus laut yang tenang dengan cahaya jingga yang tampak diujungnya, suara burung camar menambah ketenangan senja saat itu.

Suara deru ombak kecil yang membentur dinding pembatas pantai kembali membawa sang raven kememorinya beberapa tahun yang lalu, dimana Ia dan Sai pertama kali bertugas.

Mengingat wajah sang sahabat, Ia kembali teringat pada Shimura Naruto. Wanita itu tampak enggan menghilangkan marga sang suami yang merupakan sahabat karibnya. Masih jelas di ingatannya kejadian dua hari lalu disaat Ia akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya pada wanita bersurai pirang tersebut. Tidak tepat juga jika dikatakan 'mengungkapkan perasaan' karena pada kenyataannya Ia hanya 'meminta' pada wanita itu untuk menggantikan posisi Sai sebagai sosok Ayah bagi Hiroshi. Sangat jelas diingatannya ekspresi terkejut diwajah wanita itu, dan bagaimana Naruto perlahan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Sasuke. Wanita itu tidak menjawab, Ia hanya terdiam sembari menundukkan wajahnya. Sasuke masih bertahan untuk tidak melepaskan pergelangan tangan Naruto sampai sang wanita memberikan jawaban atas pertanyaannya. Dan saat suara tangis Hiroshi yang terdengar dari arah depanlah yang akhirnya membuat Sasuke melepaskan genggamannya dan membiarkan Naruto pergi meninggalkannya tanpa memberi jawaban sedikitpun.

Suara deru ombak yang membentur dinding pembatas kembali terdengar, perlahan Sasuke memejamkan kedua oniksnya, pikirannya kembali berkecamuk.

"Sai, apa aku salah kalau aku mencintainya?"

"Apa kau akan marah padaku, kalau aku menginginkannya untuk mencintaiku?"

Perlahan Sasuke membuka kedua oniksnya, Ia tersenyum getir mengingat pertanyaannya pada Sai yang tak akan mungkin terjawab. Ia menundukkan wajahnya, menghela nafasnya kasar yang tanpa disadarinya sejak tadi ditahannya.

"Aku sahabat yang buruk ya," lanjutnya lirih.

"Kau memintaku menjaganya, namun aku malah mencintainya dan berniat menggantikan posisimu dihatinya."

Tentu tak akan ada jawaban dari setiap pertanyaan yang diucapkan Sasuke, hanya suara deburan ombak yang memenuhi indra pendengarannya.

Tes, tes ..

Rintik hujan perlahan turun, Ia menatap langit yang masih tampak cerah. Ia pernah mendengar mitos yang mengatakan jika hujan turun disaat cuaca cerah adalah pertanda buruk.

Sasuke menghela nafasnya, ia merapatkan jaketnya, perlahan ia berjalan meninggalkan bibir pantai menuju tempat ia memarkirkan mobilnya.

Sasuke membuka pintu rumahnya dan oniksnya langsung disuguhkan oleh beberapa tumpukan surat yang terletak diatas meja ruang tamu miliknya. Perlahan Ia menyampirkan jasnya yang terkena hujan, menggosok pelan kedua lengan kemejanya yang sedikit basah. Ia berjalan pelan menuju tumpukan surat tersebut, sepertinya sang ibu kembali datang untuk membersihkan kediamannya, dan membawa masuk surat-surat yang ada dikotak pos didepan rumahnya.

Oniksnya menatap fokus tumpukan surat tersebut, jemarinya dengan pelan memilah surat-surat tersebut, hingga sebuah nama pengirim membuat jemarinya berhenti.

Hatake Kakashi,

Tanpa berfikir panjang lagi jemari nya langsung mengambil surat tersebut, Ia menarik kursi dan mendudukkan dirinya. Perlahan Sasuke merobek ujung amplop tersebut, mengeluarkan isinya dan membuka lipatan kertas tersebut. Ia menumpukan kedua siku lengannya diatas meja, oniksnya menatap kata demi kata yang tertulis di selembar surat tersebut.

Secarik kertas itu hanya memuat pesan singkat dimana ia diminta untuk segera kembali bertugas, dan bergabung dengan sang atasan di Akagi yang akan bertolak menuju lautan pasifik, tampaknya semenjak pengeboman Pearl Harbour 4 tahun yang lalu, hubungan Jepang dan Amerika semakin memanas. Dan kali ini sang Laksamana memintanya untuk bergabung dengannya di garis depan. Berada digaris depan bukanlah sesuatu yang baru bagi Sasuke, lencana dan pangkat yang didapatnya merupakan bukti nyata dari setiap misi yang telah dijalaninya.

Captured in Her EyesWhere stories live. Discover now