“Hei, kau bangun lebih awal.” Hanna berucap sembari meraih cangkir kopi yang biasa Yoongi gunakan dari rak di atas kepalanya.

“Kan, mau mengantar Jungkook ke sekolah.”

Alis Hanna bertaut dan dia melirik heran sekilas. “Ini, kan hari Sabtu. Kookie saja belum bangun, tuh.”

“Oh. Hari sabtu, ya.”

Setelah menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran kopi dan gula yang pas di lidah Yoongi, Hanna membawa cangkir di kedua tangan dan memindahkannya ke meja, lalu perlahan ikut duduk di sisi lain meja, berhadapan dengan Yoongi.

“Belum apa-apa kau sudah pikun, Yoong.”

“Maklum. Orang sibuk, kan memang suka lupa hari.”

“Akui saja kalau kau pelupa. Jimin tidak begitu, tuh.”

“Karena kau selalu menyodorkan jadwal dan tanggal pertemuan ke bawah hidungnya.”

Hanna mendecak pelan. “Cukup adil. Okelah.”

Yoongi menyesap pelan kopi instannya setelah ditiup beberapa kali, lalu mengeluarkan desahan lega setelah cairan itu membasahi kerongkongan dan menyebar hangat di dada. “Ngomong-ngomong tentang Jimin, aku jadi ingat apa yang anaknya bilang kemarin. Atau kemarin satunya, aku lupa.”

Waduh.

Bola mata Hanna reflek bergerak ke arah lain, menghindari tatapan Yoongi sebisa mungkin. Degupan luar biasa mulai berirama di dada. Berusaha bersikap normal, Hanna menyeruput teh tanpa suara. “Bilang apa memangnya?”

Aduh, tolol. Kau, kan sudah dewasa. Kenapa harus setakut ini sih kalau ketahuan Yoongi?

Hanna ingat betul pagi itu Abel datang ke kamar, dengan bibir maju dan wajah polos menunjuk AC yang tak bersalah, yang menurut bocah lima tahun itu adalah tersangka utama kenapa Hanna dan Jimin tidur tanpa busana. Abel memang tidak bertanya apa-apa lagi hari itu dan terus mengoceh tentang memanggil orang untuk membetulkan AC, tapi Hanna juga tidak bisa menebak kira-kira apa yang bisa dipikirkan anak kecil tentang hal itu.

“Dia bilang AC di kamar yang tidak biasanya ditempati Jimin sudah rusak.”

Tuh, kan?

“Oh, ya? Terus?”

“Kebetulan kalian berdua sedang tidur di situ.”

Mati sajalah kau, Han.

“M’hm?”

“Dan saking kepanasannya sampai tidak pakai baju.”

Meski sudah meperkirakan apa yang akan didengar, Hanna kaget juga karena tubuhnya bereaksi di luar kendali dengan tersedak, sedikit menyemburkan teh di mulut sampai luber membasahi dagu. Hanna mencabut berhelai-helai tisu sambil terbatuk-batuk menyedihkan.

“Abel bilang begitu?”

“Dia sedih sekali, kau tahu?”

Lantas atensi Hanna terenggut sepenuhnya pada wajah datar abangnya yang serata tembok. “Dia sedih? Karena aku dan Jimin....”

“Abel bilang kalau kalian sudah tidak berteman lagi, karena itu kalian tidur bersama.”

Tunggu dulu. “Hah?”

“Siapa yang memberitahunya kalau teman tidak boleh tidur bersama?”

Hanna memutar otak setengah mati, menerawang langit-langit ruang makan dengan mata dipicingkan.

Siapa yang kira-kira bilang begitu pada Abel?

Serta-merta Hanna melayangkan tamparan ke kening dengan telapal tangan. Walau sekejap kemudian rasa panas menyebar, Hanna tak tahan merutuk dan menertawakan diri sendiri. Itu karena dia teringat hal konyol yang diucapkannya di kastil di Selandia Baru waktu itu, karena tidak berpikir ada jawaban lain yang lebih pantas untuk diberikan pada Abel yang sekiranya mudah dimengerti oleh anak itu.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now