Kemeja Jimin ada di sandaran sofa, kotak bekal dan botol air minum Abel juga masih di atas konter, beserta tas kertas belanjaan yang satunya tumbang dan dua apel sepertinya menggelinding ke luar.

Jimin sudah melilit tubuh Abel dengan handuk ketika Hanna berpaling lagi. "Jimin, biar aku yang lanjutkan. Kau mandi saja."

"Hah?" Jimin berhenti bergerak sejenak, butuh waktu sedikit lama untuk mencerna. Selama waktu sesaat itu, Hanna bisa melihat lingkar hitam di bawah mata Jimin. "Oh, baiklah. Aku akan beres-beres kalau begitu."

Jimin hendak melangkah keluar, dan Hanna mengulurkan tangan secepat mungkin menyentuh ambang pintu. "Bukan, maksudku ... pakaianmu sudah basah semua, nanti masuk angin. Pokoknya antar Abel ke sekolah dulu, sisanya nanti."

Jimin merespon terlambat dengan anggukan pelan. "Baiklah. Terima kasih, Han."

Hanna memperhatikan Jimin melintas ruang tengah, bertanya dalam hati mau ke mana lagi dia, sebelum pria itu putar balik dengan tawa kering, "Aku lupa. Kamarku di sini."

"Tante, ayo ke kamar." Abel menarik-narik tangan Hanna.  "Nanti terlambat."

Hanna membantu Abel berpakaian lalu mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia memperhatikan tas beserta buku-buku dan alat tulis Abel ada di atas kasur. Piyama juga ada di sana, sementara beberapa boneka Abel ada di lantai. Hanna tidak pernah melihat kamar Abel berantakan begini sebelumnya.

"Kalau Bibi Lee tidak datang ke sini, Abel bersama siapa setelah dari sekolah?" Hanna bertanya, sementara anak itu berdiri diam membelakangi, memandang pantulan dirinya dan Hanna di cermin.

"Abel ikut Papa ke kantor. Makan di sana, tidur siang di sana. Abel tidak suka. Banyak orang keluar masuk dan Abel ditinggal terus."

Kening Hanna mengernyit. Penjelasan singkat Abel sudah cukup menggambarkan situasi kesibukan di kantor. Rumah yang berantakan juga menjelaskan betapa Jimin sangat kewalahan.

Padahal aku tidur seharian di rumah kemarin.

Hanna mendadak diliput rasa tak enak hati. Dia seharusnya datang lebih awal. Jadwal yang sudah ditunda Jimin sebelumnya pasti menuntut didahulukan secara bersamaan.

"Padahal Abel sudah minta diantar ke rumah Tante, tapi kata Papa tidak boleh. Nanti mengganggu Tante yang sedang sakit." Abel berbalik menatap Hanna dengan bibir ditekuk. "Abel mengganggu, ya?"

Hanna mematikan hair dryer lalu memegang kedua pundak Abel sembari mengulas senyum. "Tidak, kok. Abel tidak mengganggu. Kalau kemarin Abel datang ke rumah, Tante pasti senang sekali. Mungkin Papa cuma tidak mau merepotkan orang lain."

Abel mengangguk, entah mengerti atau tidak karena berikutnya dia langsung memanjat naik ke kasur dan memasukkan barang-barangnya.

"Kenapa kasur Abel berantakan sekali? Sehabis mengerjakan PR, ya, semalam?"

"Tidak. Abel tidur di kamar Papa."

"Lho, tumben. Kenapa?"

"Tidak tahu." Abel lalu melihat jam di atas nakas dan buru-buru berlari keluar menyandang tas. "Tante, ayo!"

Hanna cepat-cepat berdiri dan meletakkan pengering rambut kembali di dalam lemari. Tak sengaja matanya menangkap sebuah amplop putih bercorak bunga ceri dan pita merah muda di dekat kakinya, separuh tersembunyi di bawah lemari setinggi tubuhnya itu. Hanna membungkuk dan mengambil amplop, membaca nama sekolah Abel dan tulisan yang menujukan surat untuk Jimin.

Jimin terburu-buru memasukkan bekal beserta sebuah apel dan botol minum ke tas Abel. Hanna memerhatikan kerah dan dua kancing teratas kemeja tidak dikancingkan.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now