"Itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tidak akan kubiarkan."

Hanna berusaha membuka tutup kaleng di tangan, namun usaha itu tampaknya lebih mengusik Yoongi daripada si pemilik. Yoongi berdecak pelan. Ia mengapit kopi kalengnya di antara kaki lalu merampas milik Hanna untuk dibuka.

"Terima kasih."

"Buka kopi kaleng saja tidak becus."

"Iya, terima kasih pujiannya," jawab Hanna cuek, lalu meneguk kopi kalengnya. Dia menikmati ketika cairan dingin itu menyejukkan tenggorokan lalu meninggalkan rasa pahit di lidah kemudian. "Kupikir kau langsung kembali ke kafe tadi."

"Tidak. Aku membuntutimu."

Hanna menoleh sejenak dan merotasi mata. "Cih, kegiatan tidak berguna."

"Ya, katanya sedang mau sendirian. Tapi ayah bisa membunuhku kalau aku meninggalkan kau di rumah sakit begitu saja."

"Memangnya aku anak kecil harus ditunggui?"

"Di mata ayah dan aku kau akan selalu jadi bocah menyusahkan."

Hanna mencibir, mendongkol dalam hati. Yoongi memang diminta menemani Hanna ke rumah sakit tadi. Padahal sudah mau berangkat sendiri. Hanna yakin pria penidur ini tidak akan bergerak kalau ayah tidak bicara. Hanna sudah yakinkan mereka kalau dia baik-baik saja dan bisa melakukan segala sesuatunya sendirian, tapi tampaknya umur yang sudah tidak sedikit tidak ada apa-apanya dibandingkan status Hanna di mata keluarga, yang menurutnya juga salah sasaran.

"Hidupku ini menyebalkan sekali, ya."

"Menyebalkan dari sisi mana?"

"Semuanya."

"Pekerjaan bagus, badan sehat, keluarga lengkap, kebutuhan tercukupi. Itu menyebalkan? Bagaimana kalau aku mengirimmu ke Palestina saja?"

Hanna menoleh, menatap dengan mata dipicingkan. "Kau menyebalkan."

"Kalau itu aku tahu." Yoongi meneguk isi kalengnya lagi. "Jangan karena satu hal kau bilang seluruh hidupmu menyebalkan. Kau masih punya banyak hal yang tidak dimiliki orang lain. Bukankah kau baru saja kembali dari luar negeri? Destinasi favorit banyak orang tapi belum kesampaian. Kurasa itu bukan bagian dari hidup yang menyebalkan."

"Iya, di situ kepalaku ditimpuk guci sampai bocor."

"Itu, sih, salahmu berlagak jadi pahlawan."

"Mau kusiram kopi, ya, ke jaket mahalmu itu?"

"Terserah. Kau yang tanggung biaya laundri."

"Kuhitung sampai tiga, kalau tidak berhenti bicara akan kubuat pantat teposmu itu mendarat keras di tanah."

"Pikirkan sisi positifnya." Yoongi mengabaikan, dia lalu melempar kaleng kopi ke tempat sampah. "Sekarang kau punya tempat istimewa di hati Jimin."

Hanna mengayunkan tangan, menyiram sepatu kets putih Yoongi dengan sisa kopi di kaleng. Tidak banyak yang kena, setidaknya cukup meninggalkan bekas di ujungnya. Hanna tidak mau repot-repot mencuci atau membelikan sepatu baru. "Asal ngomong sekali lagi, kaleng ini yang kusumpalkan ke mulutmu."

"Bagian mana yang asal? Bukankah secara tidak langsung, itu memberikan sedikit waktu untuk kalian berbincang berdua? Memberi kesempatan untuk Jimin berpikir."

"Ya, dia hanya akan berterima kasih seumur hidup, merasa berhutang nyawa, karena aku sudah menolong Abel."

"Mungkin. Bisa jadi." Yoongi merebut kaleng kopi dari tangan Hanna dan sukses membidik tong sampah. Bunyi kelontang nyaring terdengar saat menimpa kaleng yang sudah ada di dalam. "Tapi bukankah Jimin terlalu kompleks untuk hal seperti itu?"

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now