"Pulang. Kita akan kembali ke Seoul nanti malam. Ada pesawat yang bisa digunakan, kebetulan. Sepertinya Abel juga mulai tidak betah. Katanya tidak asik kalau tidak ada Tante Hanna," katanya, tersenyum simpul.

"Astaga, Jim. M-maksudku minta pulang, kita bisa tinggal di sini untuk sementara dan ... dan mungkin jalan-jalan, bukannya ... itu. Bukan benar-benar pulang, kau tahu?" Hanna gelagapan. Ini benar-benar di luar ekspektasi. "Terus tadi kau ... tadi bilang apa? Pesawat yang bisa digunakan? Maksudnya?" Sedikit banyak, Hanna sudah memperkirakan apa yang akan dia dengar. Kau tahu, tipikal orang kaya yang punya keperluan mendadak, mereka bepergian dengan jet privat. 

"Ah, itu. Em, aku juga ingin pulang lebih cepat, tidak ada alasan spesifik, sih. Tapi aku hanya menemukan penerbangan besok siang dan hari ini jam sepuluh pagi ke Korea. Tidak akan sempat. Jadi, aku minta bantuan teman menyewakan satu."

Tuh, kan. "Ya, ampun. Jimin, aku--"

"Jangan dipikirkan." Jimin cepat-cepat  menyela, mendapati wajah bersalah di depannya. "Kurasa akan menyenangkan juga untuk Abel merasakan pengalaman baru."

Hanna tidak bisa berkata lagi. Kalau alasannya sudah itu, tidak ada yang bisa diucapkan; antara takut kege-eran dan tidak mau terlalu cerewet dan membuat situasi menjadi canggung. Mungkin memang begini kebiasaan orang kelebihan uang.

Jimin sudah selesai mengemas semuanya, lalu melangkah menuju kamar mandi.

"Mau ke mana?"

"Ambil barangmu di kamar mandi."

Shit. "Tidak, tidak. Yang itu biar aku." Hanna pelan-pelan turun dari kasur, sudah tidak heran ketika justru Jimin yang buru-buru menyambut lengannya.

"Han, lantainya licin."

"Aku akan hati-hati." Yang benar saja. Tas di dalam isinya pakaian dalamku semua.

Hanna melangkah lambat, berpegangan pada kenop pintu dan wastafel. Kali ini dia ekstra hati-hati, tentu tidak mau menambah masalah seperti terpeleset dengan konyol dan membuka jahitan sampai harus tinggal lebih lama lagi di sini. Oh, itu mimpi buruk. Hanna mengambil tas kecilnya di atas toilet sebelum atensi direnggut sebentar oleh pantulannya sendiri di cermin.

Hanna mendesah saja sembari tersenyum tipis melihat lingkar gelap di bawah mata. Kalau bukan karena pengaruh obat, Hanna mungkin tidak bisa tidur sama sekali. Kasurnya nyaman, kok. Bantal juga empuk, kamarnya juga memiliki suhu yang pas, selimutnya lembut. Hanna hanya ... tiba-tibe merasa jauh sekali dari rumah. Rasanya aneh.

Belum lagi jahitan di belakang kepala membuat tubuhnya terasa asing. Hanna tidak pernah mendapat luka seperti itu seumur hidup. Rasanya seperti, bagian tubuh lain paham kalau ada bagian yang terluka dan mereka selalu bersiaga. Sekarang perban di kepala ditutupi topi rajut merah hati yang dibawakan Abel. Dia bilang Hoseok mengajaknya jalan-jalan. Abel juga punya satu berwarna sama dengan ukuran lebih kecil. Topinya cukup lucu.

"Sudah selesai, Han?" Jimin terdengar tak sabar.

"Ya, aku sudah selesai."

Barang-barang Hanna sudah dikemas semua. Tas masih dalam keadaan terbuka dan Hanna memasukkan sisanya. Setelah Jimin menarik risleting tertutup, Hanna berkata, "Kita akan bertemu ibumu dulu, kan?"

Jimin langsung menegakkan badan, menatap bingung. "Untuk apa?"

"Pamitan, dong."

"Aku rasa itu bukan ide yang bagus."

Edenic {✓} SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang