neun

313 42 9
                                    

"What do we have for breakfast today, Daize?" Theo mencium singkat pipi Daisy ketika dia sampai di dapur dan melihat perempuan itu tengah duduk di kursi bar, memainkan permukaan gelas yang airnya tersisa setengah. "Mein Gott (Ya Tuhanku), I'm really starving right now even though Seulyoon bought many food for me last night. "

"I don't know," ujar Daisy seraya menghapus jejak bibir Theo di pipinya. Laki-laki itu mengambil duduk di kursi sebelahnya yang kosong. "You know I can't cook. Probably Seulyoon will buy us food again."

"Ooh, Daisy Darling, I'll make sure she will."

Daisy hanya mengedikkan bahunya dan kembali memainkan permukaan gelas, memutar-mutar jarinya di sana. Dia sangat mengantuk. Semalam dia benar-benar tidak bisa tidur, berharap dengan bergadang akan memperbaiki suasana hatinya yang sangat buruk. Tidak heran bila ada lingkaran hitam yang menghiasi bagian bawah kedua matanya. Daisy merasa dia benar-benar sangat mengerikan saat ini. Dia sungguh kacau.

Jam sepuluh kurang lima menit, semalam Daisy pulang ke apartemen Seulyoon. Daisy benar-benar melakukannya--pulang dengan bus--walaupun dia paranoid setengah mati menaiki kendaraan umum itu. Ketika memasuki apartemen, Theo sudah tertidur karena kekenyangan--begitu kata Seulyoon ketika Daisy bertanya--sedangkan sepupunya bertingkah agak aneh. Maksud Daisy, Seulyoon tidak menceramahi ataupun mengomelinya ketika Daisy pulang, suatu hal yang tidak wajar dilakukan oleh seorang Jung Seulyoon mengingat Daisy yang sudah membuatnya kesal. Seulyoon malah tersenyum lebar menyambut kedatangannya. Bahkan perempuan itu mempersiapkan makanan enak bagi Daisy, lengkap dengan jus apel yang Daisy yakin Seulyoon buat sendiri.

Wajar saja, kan, bila Daisy merasa curiga akan tingkah Seulyoon? Entah semalam Seulyoon memang dalam suasana hati yang bagus, atau sepupunya itu tengah merencanakan sesuatu. Oh, Daisy sangat tahu bahwa apapun yang direncanakan Seulyoon, itu pasti bukanlah sesuatu yang baik. Daisy sangat tahu itu.

"Daize." Theo menangkap pergelangan tangan Daisy, membuat perempuan berambut bergelombang itu menatapnya dengan bingung. "Ist was?" (Ada apa?)

Kening Daisy mengernyit. "Es ist alles in Ordnung. Warum, Theo?" (Tidak ada apa-apa. Memangnya kenapa, Theo?)

"Maybe you have something to tell me?" Theo menaik-turunkan sepasang alisnya. "I am a good listener, just in case you forget about that."

"I don't."

Theo tersenyum miring. "Are you sure about that, Daize? Daisy-Daisy-Daisy, you make me feel dizzy because you keep lying to me, ooooh ...." Theo mulai bernyanyi seraya menepuk-nepuk pahanya. "Why dooooon't you tell meeeee?? Just whyyyyy? Why? WHY!? WHY, DAISY, WHYYYYYY?!"

"FINE!" Daisy menyerah. Gendang telinganya bisa pecah bila lebih lama mendengarkan nyanyian tak karuan dari Theo.

"Soooooo? What are you gonna tell meeeeh?"

Daisy menghela napas panjang, berusaha meraup oksigen sebanyak yang dia bisa. Keringat dingin mulai membasahi kening Daisy kala kejadian di depan lobby rumah sakit melintas di memorinya.

"Ich habe meinen Papa gestern getroffen." (Semalam aku bertemu papaku) suara Daisy terdengar begitu lirih. "Mein Papa, Theo. Mein Papa."

Theo langsung menghentikan kegilaannya. "Echt?" (Kau serius?)

"Ja."

"Wo?" (Di mana?) tanya Theo, serius.

"Im Krankenhaus (Di rumah sakit). He called my name. He hugged me, but I ran."

"Oh, Daize." Theo tidak bertanya lebih lanjut. Ditatapnya Daisy yang juga menatapnya balik dengan sorot mata yang sama ketika Theo pertama kali bertemu perempuan berbulu mata lentik itu di tengah musim semi di Bern. Daisy memang tidak berkata apa-apa, namun iris biru itu memberitahu Theo segalanya. Luka, kecewa, marah, bahkan rasa takut yang dirasakan Daisy saat ini sukses membuat Theo terhenyak.

"It hurts, Theo," ujar Daisy masih dengan lirihan yang sama. "It hurts I wanna go home."

"We will. Soon we will, okay?" Theo tersenyum. Hal selanjutnya yang dia lakukan adalah merengkuh tubuh Daisy ke depan, membawa perempuan rapuh itu ke dalam dekapannya.

Daisy membutuhkan dirinya, dan Theo akan selalu ada tanpa perlu Daisy pinta.

→←

"Jongdae Hyung, bagaimana persiapan albummu?"

Bibir Jongdae melengkung ke atas ketika Sehun menghampirinya yang tengah duduk di sofa. Pemuda yang lebih muda dua tahun itu mendudukkan diri di hadapannya seraya meletakkan satu kantong plastik besar ke atas meja. "Dua minggu lagi siap dirilis, Sehun-ah," jawab Jongdae. "Ngomong-ngomong, kau dari mana?"

"Eoh, aku baru saja keluar membeli beberapa makanan dan minuman. Persediaan di kulkas habis."

"Apa Manajer Hyung tidak berbelanja?

Sehun tertawa ringan. "Manajer Hyung terlalu sibuk mengawasi dan mengawal Junmyeon Hyung dan kekasihnya sampai-sampai dia lupa ada kita yang juga perlu dia urus di sini."

"Aku masih tidak percaya kalau mereka benar-benar bersama."

"Aku juga masih tidak percaya kalau kau sudah mempunyai anak, Hyung." Sehun menyeringai, mengambil setu kaleng soda lalu meminumnya. "Bahkan kau mendahului Minseok Hyung."

Tawa Jongdae berderai. Entah sudah berapa kali dia mendengar kalimat yang sama dari Sehun maupun anggota EXO yang lainnya, meskipun Ahrin sudah hadir lebih dari tiga tahun di antara mereka. "Sehunnie, kau membuat mempunyai anak terdengar menjadi suatu tindak kriminal. Ahrin akan marah padamu bila dia mendengar ini."

"Biar saja dia marah. Aku suka melihatnya. Dia begitu menggemaskan, Hyung, aku jadi ingin menjadikannya gantungan kunci."

Jongdae refleks melotot. "Yak! Oh Sehun! Anakku bukan barang! Aku akan menggantungmu di Namsan Tower bila kau berani melakukan itu."

"Lihatlah siapa yang sekarang marah seperti Ahrinie." Sehun mencibir. "Aigooo, Kim Jongdae, kau begitu sensitif. Jika aku menjadi Ahrin, aku tidak akan mau berdekatan dengan ayah yang mempunyai suara melengking sepertimu, suka merengek, pendek, dan--" Sehun tidak meneruskan katanya-katanya. Matanya terbelalak horor melihat Jongdae yang entah sejak kapan sudah berada di depannya dengan memegang satu botol besar soft drink yang tadi dia beli di supermarket. Ketika Jongdae mendekat, Sehun refleks memundurkan tubuhnya hingga menabrak bahu sofa. Sehun melotot ngeri. Sebuah seringaian menakutkan tercetak di wajah tampan pemuda yang sudah dia anggap sebagai saudara kandungnya itu. "Jong-Jongdae Hyung, kau ingin ap-AKH!! SAKIT HYUNG! KENAPA KAU MEMUK-HYUNG HENTIKAN! AKU HANYA BERCANDA! JONGDAE HYUNG AMPUNI SEHUNNIE, JEBAL! SUHO HYUNG TOLONG SELAMATKAN AK-AWW!"

"Mati saja kau, Oh Sehun."

"JONGDAE HYUNG KEJAM!"

"Kau mau botol ini mendarat di tubuhmu lagi?"

"ANDWAEEE!"

~to be continued~

←→

Yang ringan-ringan aja dulu ya wkwkwkwkwk

Well, kemungkinan aku nggak bisa update dalam waktu deket ini. Real life aku hectic banget soalnya. Jadi yah, cerita ini bukan prioritas.

Tinggalkan vote dan komen kalian tentang chapter ini!

Keep loving Jongdae and Daisy (Sydae/?) wkwkwkwk

Lots of love,
Jeyi

Published 2018/11/24

[✔] Abience ; Chasing Daisy || Kim JongdaeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang