sieben

415 47 9
                                    

Udara malam kota Seoul yang dingin membuat Daisy semakin merapatkan mantel biru ke tubuhnya. Uap air yang keluar dari mulutnya tampak begitu jelas setiap kali dia mencoba menghangatkan telapak tangannya yang seolah-olah mati rasa. Daisy masih belum terbiasa dengan dinginnya Seoul meskipun dia tumbuh dan dibesarkan di ibu kota Korea Selatan ini. Bern juga tidak sedingin ini kala malam datang, yang semakin membuat Daisy merasa tidak nyaman diserang rasa dingin dari berbagai arah.

Tetapi, entahlah. Daisy berharap dia mempunyai kekuatan yang bisa mempercepat waktu satu bulan menjadi satu hari agar dia dapat segera pulang ke kota kelahiran ibunya itu. Sungguh, ini bukan hanya tentang cuaca musim gugur, namun ini tentang dia yang merasa tidak sanggup berada lebih lama lagi di Seoul mengingat kejadian buruk yang secara beruntun menimpanya sejak dia datang ke sini.

Luka lama yang telah dia coba tutup rapat-rapat kini dibuka paksa oleh orang yang sama yang menorehkan luka itu tanpa diminta. Kim Jongdae, pria yang pernah singgah di hatinya itu kembali datang tanpa permisi, memporak-porandakan hatinya yang sudah mulai tertata. Daisy benci mengakui ini, namun rasanya sangat sulit untuk mengenyahkan bayang-bayang Jongdae dari benaknya. Pria itu seolah-olah mempunyai magnet pribadi yang memaksa Daisy untuk terus berada di dalam lingkaran kisahnya yang tak berujung.

Gadis muda itu terus tenggelam dalam lamunan seraya menggenggam ponsel ketika sebuah mobil BMW hitam berhenti beberapa langkah di depannya. Seorang pria setengah baya keluar dari mobil tersebut dengan dibukakan oleh sang supir. Pria itu tampak sangat rapi dan begitu berkelas. Setelan hitam Dolce & Gabbana tampak sangat pas membungkus tubuh tegapnya.

Sekelebat raut terkejut seketika terlihat di wajah pria itu kala dia melihat Daisy. "Daisy," katanya, pelan, ketika berdiri di depan Daisy. Nada tidak percaya terselip di dalam suaranya. Daisy tidak merespon. Pandangannya memang ke depan, namun tampaknya pikiran gadis itu berkelana sangat jauh dari realita. "Jung Daisy," panggil pria itu lagi, menyentuh jari-jari lentik milik Daisy yang terasa sangat dingin.

Daisy tersentak. Dia mendapati seorang pria setengah baya menatapnya dengan lekat seolah-olah Daisy adalah alien yang datang dari Mars. Belum sepenuhnya mencerna apa yang sedang terjadi, tubuh Daisy entah sejak kapan sudah berada di dalam pelukan pria yang memanggil namanya itu.

"Papa tahu ini kau. Papa tidak mungkin salah orang."

Papa?

Kesadaran dengan cepat menghantam Daisy. Daisy mendorong pria itu hingga dekapan mereka terlepas dan langsung bergerak mundur. Wajahnya memucat, napasnya memburu. Reaksi yang Daisy tunjukkan sama seperti reaksi ketika gadis itu bertemu Jongdae tempo hari di Starbucks.

Tanpa mengatakan apa-apa, Daisy langsung berbalik, berlari memasuki rumah sakit. Persetan dengan Seulyoon yang sedang dalam perjalanan menjemputnya, Daisy tidak peduli. Satu-satunya hal yang saat ini Daisy khawatirkan hanyalah bagaimana dia dapat lari sejauh mungkin dari pria itu.

Kaki jenjangnya dengan alamiah berlari ke dalam toilet wanita yang terletak di dekat lift. Hanya itu satu-satunya tempat yang dia yakini tidak akan didatangi oleh pria manapun. Punggungnya menyandar di dinding di samping wastafel sembari berusaha menetralkan napasnya yang putus-putus.

Sekitar dua menit Daisy terus mempertahan posisinya. Setelah napasnya sudah mulai teratur, ponselnya berdering. Daisy menatap layar ponselnya dengan ragu. Seulyoon menelepon.

"Daisy, kau di mana?"

Daisy berdehem, berusaha menyamarkan deru napas memburunya yang masih tersisa. "Kau di mana?"

"Jangan membalikkan pertanyaanku, Bodoh!" Seulyoon bersungut-sungut. "Aku sudah sampai di depan rumah sakit. Kau di mana? Aku kira kau sudah menungguku di depan lobi."

[✔] Abience ; Chasing Daisy || Kim JongdaeOnde histórias criam vida. Descubra agora