"Boleh deh."

Dan mereka pun berjalan mengendap-endap ke dapur.

Sesampainya di sana, terlihat sebuah bayangan yang sedang berjongkok dan sibuk pada sesuatu di bawah meja.

Yoga mengangkat payungnya dalam genggaman. Mengarahkan pada satu tujuan.

BUK!

***

Jam berdentang dua kali. Menunjukkan pukul 2 dini hari. Bertepatan dengan membukanya sepasang mata hitam yang masih terlihat kesakitan.

Setelah mengerjap beberapa saat, Yoga baru sadar bahwa tubuhnya diikat di sebuah ranjang dengan mulut tersumpal. Tubuhnya bergerak mencoba melepaskan. Namun pecuma saja. Ikatannya terlalu kuat.

Matanya mengamati ruangan yang cukup besar itu. Dan hal yang ia saksikan sungguh membuatnya ingin muntah.

Lampunya remang-remang, namun dapat ia lihat hiasan di seluruh dinding. Terdapat sebuah lembaran yang mirip kulit manusia, rambut yang dikepang, sepasang telapak tangan, dan sebuah kaki. Di sisi lain, 5 ekor kucing bermacam warna berjejer di atas meja.

Apa-apaan semua ini.

Yoga semakin panik. Apalagi setelah melihat isi dari lemari kaca di ujung ruangan.

Toples yang berisi cairan memenuhinya. Namun bukan itu isinya. Toples tersebut berisi cairan dan berbagai macam organ dalam.

Lidah, bola mata, telinga, kuku, hidung, bahkan jantung pun ada.

Yoga sadar. Bahwa nyawanya terancam.

Pintu di sebelah kanan membuka. Seorang pria yang tadi di dapur Alysha masuk dengan langkah malas.

Pria itu mengenakan masker dan sarung tangan.

Pintu di sebelah kiri turut terbuka. Namun seseorang yang keluar dari sana sungguh membuat Yoga tidak percaya.

Dia Alysha.

Menenteng sebuah tas yang entah apa isinya. Kemudian meletakkannya di meja samping ranjang.

"Selamat pagi, Dokter," ucap Alysha dengan nada bahagia. Berbeda dengan Alysha 2 jam yang lalu saat bertemu Yoga. Ketakutan.

Pria yang dipanggil dokter itu mengangguk sebelum kemudian duduk. Seolah menjadi penonton terhadap apapun yang akan terjadi beberapa menit kedepan.

"Oke, jadi gini Ga kamu pasti bingung dengan apa yang terjadi kan. Sama hihihihi." Entah mengapa tawa Alysha kini terdengar menyeramkan bagi Yoga.

"Sebelumnya, kenalin dulu, beliau ini dokter bedah kenalan aku. Yang tadi di dapur, iya. Hahaha. Kamu ketipu. Oh ya, maaf ya, tadi aku mukul kepala kamu kekencengan ya, sampek pingsannya lama banget."

Yoga menggeleng tak percaya. Ternyata Alysha tidak lebih dari seorang gadis sinting.

"Sebelum aku mulai, aku mau cerita dulu deh ya. Dengerin," ucap Alysha sembari menatap tajam Yoga. Namun sedetik berikutnya, ia kembali menjadi Alysha yang biasanya.

"Sebenernya, aku suka sama kamu Ga. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu. Aku sebenernya juga nggak mau kayak gini, tapi ngeliat kamu kemaren, aku jadi pengen kan, kamu sih banyak tingkah. Kamu lihat disana," ucap Alysha sembari menunjuk kaki, telapak tangan dan kulit di atas dinding.

"Itu milik orang tua aku. Aku sayang sama mereka, makanya aku ambil anggota badan mereka yang aku suka. Jadi aku bisa ngerasa bareng mereka terus. Dan di situ," Alysha menunjuk jejeran kucing di atas meja.

"Mereka yang nemenin aku. Tapi mereka bandel, yaudah aku awetin aja. Tapi lucu kan ya hehehe. Terus yang dilemari kaca itu milik temen-temen aku yang dulu. Aku terlalu sayang mereka sih, jadi ya harus aku ambil bagian yang aku suka."

Yoga semakin yakin bahwa Alysha sebenarnya sakit jiwa.

"Aku suka semua tentang kamu Ga. Jadi aku nggak bakalan ambil organ kamu, tenang aja. Gimana dok?" tanya Alysha beralih menatap dokter bedah yang masih setia mengawasi Alysha.

Dokter itu mengedikkan bahu. Menyerahkan semua keputusan di tangan Alysha.

"Eh tapi kalo kamu aku awetin serem juga ya." Alysha tampak berpikir. Mengabaikan Yoga yang berusaha melepaskan diri. Bahkan setetes air bening mengalir dari mata Yoga.

"Ga, jangan nangis dong. Aku nggak mau liat kamu nangis." Alysha mendekat namun Yoga berusaha menjauhinya. Dan itu sudah cukup menyakiti hati Alysha.

"Dih. Ngejauh. Yaudah itu pilihan kamu ya."

Alysha membuka tas yang tadi ia bawa. Siapa sangka bahwa isi tas tersebut adalah pisau dan gunting berbagai ukuran.

Dokter bedah itu berdiri, berniat membantu Alysha.

"Kali ini dokter aja yah yang ngelakuin. Aku nggak tega. Usahain nggak sakit dan cepet ya dokter." Alysha berjalan menjauh, duduk di kursi dokter tadi dan menjadi penonton.

Namun sebelum itu, Alysha mendekati Yoga. Meminta sebuah kata terakhir darinya.

"Sinting kamu Sa. Makanya kamu nggak pernah punya temen. Kamu bener-bener sinting," ucap Yoga berapi-api sedetik setelah sumpalan mulutnya dilepas. Sementara Alysha hanya mengangguk mengiyakan.

Alysha bukannya tidak punya teman, ia sendiri yang membuat temannya menghilang. Ia seperti ini, sebab terlalu banyak orang yang ia sayangi pergi meninggalkan luka. Oleh karena itu, sebelum mereka benar-benar pergi, ia buat mereka abadi.

Setelahnya, Alysha segera menyumpal kembali mulut Yoga.

"Silahkan dilanjut Dokter. Saya mau keluar aja. Mau muntah liat tingkahnya. Untung ganteng. Untung aku sayang." Alysha berjalan ke arah pintu. Namun sebelum benar-benar pergi dari ruangan itu, Alysha menoleh dan berkata, "Aku suka mata, hidung sama tangannya ya Dok."

Dengan ini, Alysha pergi. Membiarkan sang Dokter melakukan tugasnya. Jika biasanya Alysha yang mengotori tangannya, kini ia sedang tidak mood. Ia membiarkan dokter kepercayaannya itu untuk menambah koleksi organ tubuh dari orang yang ia sayangi.

******

Pengennya jadi satu part. Ternyata malah kebablasan. Yaudah deh ya, semoga suka :)

See you next time.

AlyshaWhere stories live. Discover now