Yoongi mendecak pelan. "Kenapa juga kau mau berkumpul dengan wanita-wanita pembual seperti mereka? Yang suka menggosip di mana-mana. Menyebarkan kabar angin yang tidak tahu kebenarannya. Berkeras dengan opini mereka saja, seolah sudah yang paling benar."

"Ya, mana aku tahu kalau mereka akan membicarakan Jimin seperti itu."

"Apa lagi yang mereka katakan?"

"Jawab dulu." Hanna mengambil lima pasang kaus kaki hitam dan dua pasang stoking warna kulit. "Benar, ya? Jimin punya dua hyung."

"Iya, benar," jawab Yoongi, membuang muka.

"Di mana mereka sekarang? Ah, lupakan." Hanna mengibas-ngibas tangan di depan wajah. "Aku ingat, mereka bilang kakak Jimin ada di Selandia Baru."

"Yap."

"Ibunya?"

Yoongi memasukkan dua pasang kaus kaki pria untuk dirinya sendiri. "Kenapa, sih, memangnya? Kenapa kau penasaran sekali?"

"Aku, kan, asistennya Jimin." Hanna membalas tegas. "Salah, ya kalau aku mau tahu?"

"Tanya sendiri sama Jimin, sana."

"Ih, kau, kan temannya!"

"Kami sudah lama tidak bersama-sama. Kau, kan, tahu itu."

"Ya, tapi kau pasti tahu sedikit lebih banyak tentang masa lalunya, kan? Siapa orangtuanya, seperti apa keluarga mereka, bagaimana ceritanya Jimin bisa menikah muda, ke mana istrinya, kenapa mereka bercerai."

Yoongi berhenti melangkah dan memutar tubuh, berdiri berhadapan dengan Hanna. "Tidak usah bertanya-tanya terlalu banyak tentang urusan pribadinya, kecuali dia sendiri yang memberitahumu, atau kau sendiri yang perlahan mengerti seiring waktu. Hormati privasinya, karena Jimin sangat membutuhkan itu. Bahkan kalau untuk sekarang yang kau tahu tidak lebih dari Jimin dan Abel, ya, sudah, terima saja dan lakukan pekerjaanmu dengan benar."

Hanna merengut. Ia mengambil sekotak pena dari rak dan melemparnya agak kasar ke dalam troli. "Iya, iya! Cerewet."

"Satu lagi." Yoongi berkata, membuat Hanna yang sudah berjalan mendahuluinya berbalik badan dengan raut wajah sebal. "Jangan dengarkan apa yang orang-orang katakan tentang Jimin, terutama para penggosip itu. Percaya padaku, karena mereka juga tidak tahu apa-apa tentang Jimin."

Malam itu, setelah membeli semua keperluannya dan menodong Yoongi untuk membelikan camilan dan stok kulkas, Hanna akhirnya bisa berbenah membersihkan badan. Dia duduk di meja belajarnya, menyalin catatan lama yang berantakan ke nota yang baru. Beberapa catatan penting yang harus selalu Hanna ingat dia catat di sticky note, agar besok bisa ditempelkan di komputer dan meja kerjanya.

Hanna baru saja hendak mematikan lampu kamar ketika ponselnya berdenting. Hanna mengecek pesan yang masuk dari Jimin.

"Hanna, besok tolong datang dulu ke rumahku, ya. Alamatnya sudah kusertakan. Terima kasih."

111 Dokseodang-ro, Hannam-dong, Yongsan-gu, Seoul. Complex D, Building D2, 2nd floor, number 2-03.

Hanna tertawa datar. Dia tidak lagi kaget ketika membaca alamat tempat tinggal atasannya. Siapa yang tidak tahu komplek Hannam The Hill? Tempat itu seperti surga dunia, kumpulan apartemen-apartemen mahal, juga pilihan orang-orang terkenal, rumah para artis karena kawasannya yang tenang dan aman. Hanna dengar harga sewa setahunnya bisa mencapai enam juta dolar Amerika Serikat untuk tipe menengah saja. Hanna tidak akan pernah bermimpi untuk bisa membeli satu. Kalau nanti bisa membeli satu unit apartemen sederhana untuk tempatnya tinggal sendiri saja sudah syukur.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now