"Ini sudah siang!"

Kali ini Jungkook mengangkat kepala dengan gerakan malas lalu menyipitkan mata untuk melihat jam. "Baru jam enam lewat dua puluh."

Hanna berdecak pelan. Dia memutuskan untuk melakukan bagian yang paling disukainya : menarik kaki Jungkook sampai adiknya itu terjatuh dari kasur.

"Cepat mandi sana, dasar bau!"

Setelah memastikan Jungkook benar-benar bangun, ditandai dengan aksi protes sambil menggerutu serta tindakan barbar Hanna menyeretnya dari kasur, Jungkook akhirnya bergerak ke kamar mandi. Dia tidak berhenti mengomel betapa dia sangat tidak semangat karena hari ini ada mata pelajaran matematika. Mengabaikan ocehan Jungkook dengan gelengan pelan, Hanna akhirnya bisa membantu ibu dan ayah menyiapkan sarapan di dapur.

Setelah bisnis kafe Yoongi sukses, kurang lebih tiga tahun lalu, ayah sudah tidak bekerja lagi. Yoongi memintanya berhenti dari kantor di mana ayah bekerja sebagai manajer keuangan selama satu dekade. Ayah nyaris kepala enam meski begitu tubuhnya masih sehat dan segar bugar. Jadi, di waktu kosong, ayah membantu ibu, jalan-jalan mengelilingi komplek, atau berkebun. Mereka juga jadi punya lebih banyak waktu untuk mengawasi Jungkook supaya tidak salah pergaulan, begitu katanya.

Ayah dan ibu sudah tidak asing dengan siapa Jungkook berteman dan ke mana biasanya dia pergi di waktu luang. Tidak tanggung-tanggung, ayah dan ibu mengenal rata-rata teman sekelas Jungkook termasuk orang tua mereka. Semacam perkumpulan orang tua siswa yang membuat Jungkook sebal bukan main karena dia selalu dilibatkan dalam kelas tambahan, aktivitas sosial, dan sebagainya.

Hanna agak heran juga karena ketimbang bermain dengan teman-teman, Jungkook lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Bukan hal yang buruk. Hanya saja, kadang dia khawatir kalau adiknya tidak bergaul dengan baik atau menyembunyikan masalah. Yoongi selalu menceramahinya tentang ini, karena menurutnya tidak ada yang aneh dari Jungkook dan Hanna harus membiarkan Jungkook melakukan apa yang anak itu inginkan.

Oke, Hanna mengerti. Adiknya menghabiskan waktu di rumah untuk main game, belajar mengedit video yang mana adalah kegiatan yang paling Jungkook cintai, atau nonton film di televisi, jadi seharusnya ayah dan ibu tidak perlu terlalu khawatir. Sudah pasti, Hanna mengatakan itu untuk dirinya sendiri juga.

Sudah hampir jam tujuh pagi ketika Jungkook turun. Dia langsung dicereweti ibu karena menghabiskan terlalu banyak waktu di kamar mandi. Hanna juga tidak paham apa yang membuat Jungkook begitu lama bersiap-siap. Oke, jangan salah paham. Adalah sebuah kebohongan besar kalau Hanna bilang adiknya tidak terlalu tampan. Jungkook itu tampan. Sangat malah. Min Yoongi si wajah datar itu tidak ada apa-apanya jika mereka dibandingkan. Namun dengan penampilan ala anak sekolahan yang begitu-begitu saja, Hanna tidak mengerti.

Seragam, rambut disisir rapi, dasi, dan parfum beraroma menyengat yang super norak itu.

Parfum lagi, parfum lagi. Ada apa denganmu, sih, Hanna? Besok tanya saja pada Jimin dia pakai parfum apa lalu semprot isinya ke seluruh rumah.

"Kakak kenapa?" tanya Jungkook. Sehelai roti tawar dia gigit karena kedua tangan memegang toples selai dan pisau.

"Apa yang kenapa?" Hanna bertanya balik.

"Kepalamu sendiri dipukul-pukul pakai sendok begitu. Sudah gila, ya?"

Hanna hampir menggeplak kepala Jungkook kalau saja ketidakhadiran seseorang disadari olehnya. "Mana Yoongi? Sudah jam berapa ini? Nanti Jungkook telat."

Ayah menoleh ke kamar Yoongi. "Tadi sudah keluar, kok, tapi masuk lagi. Mungkin ada yang tertinggal."

Kadang Hanna dibuat lupa siapa anak tertua di rumah kalau dia juga harus menggedor kamar Yoongi seperti sekarang ini. Dalam hati dia hanya bisa mencibir bahwa ini adalah risiko menjadi anak perempuan satu-satunya.

Edenic {✓} SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang