Hanna mengangguk singkat. Dalam hati dia mengingatkan diri sendiri akan kata-kata Yoongi tentang ‘jangan berharap kelewat tinggi atau kau akan nyungsep dengan menyedihkan seperti kerbau di sawah’. Sekilas tadi Hanna melirik berkas di meja kerja Jimin dan laptop yang terbuka. Dia bisa menebak pasti banyak yang mengincar pekerjaan ini, belum lagi karyawan lama yang pasti ingin naik jabatan. Dia cukup takjub berpikir bahwa Jimin sendiri yang turun tangan memilih asistennya karena mengutamakan kenyamanan, katanya. Hanna tidak ingin memaksa dirinya naik ke awan dahulu hanya untuk jatuh tersungkur kemudian. Rasanya tidak enak.

Hanna menatap lurus ketika pintu dibuka. Karyawati yang tadi menyambutnya di ruang tunggu melangkah masuk, tangan dijulurkan menggandeng anak kecil. Tubuhnya agak tertutup punggung sofa yang diduduki Jimin.

Hanna menahan napas sejenak ketika gadis kecil berpotongan rambut pendek dan jaket denim itu masuk ke lingkup penglihatan. Hanna rasa dia tidak akan bisa lupa bagaimana hangatnya Jimin tersenyum setelah itu dan menyambut si gadis kecil ke pangkuan.

“Papa, ayo pulang.” Rengekannya terdengar samar karena dia meletakkan kepala di pundak Jimin, memeluk leher papanya.

“Sebentar, ya. Papa ngobrol dulu sama tante ini. Sebentar saja.” Jimin mengusap pelan punggung anaknya dan pada Hanna berkata, “Anakku sedang tidak enak badan. Maaf, ya.”

“Oh, tidak apa. Tidak usah hari ini juga tidak masalah, kok. Aku bisa kembali lain hari.”

Jimin tersenyum simpul. Atensi kembali ditujukan pada putrinya. “Abel, kita ke rumah sakit saja, ya. Bertemu Paman Taehyung supaya diperiksa dan tahu Abel sakit apa. Tidak mau lama-lama libur sekolah, bukan? Semester baru saja dimulai.”

Abel mengangkat kepala. “Nanti ajak Paman Tae ke rumah kita, ya? Abel kangen.”

“Iya, nanti coba bilang ke Paman. Kalau Paman Tae tidak sibuk, pasti mau datang ke rumah kita.”

Jimin lalu berdiri, mendekap Abel dalam gendongan. “Maaf, ya, Hanna. Aku janji akan hubungi lagi dalam waktu dekat, tapi kuharap kau mengerti kalau banyak yang harus kupertimbangkan.”

Hanna mengangguk cepat. “Tidak masalah. Sungguh. Aku sudah sangat senang diberi kesempatan untuk bertemu langsung denganmu.”

“Abel, mau pamitan sama tante dulu, tidak?”

Abel menoleh pada Hanna. Dengan wajah sayu dia menundukkan kepala, membuat Hanna gemas. “Hati-hati di jalan, ya, Tante.”

“Terima kasih, Abel. Cepat sembuh.”

“Hanna, setelah ini mau ke mana? Langsung pulang? Biar diantar supirku saja.”

“Tidak, tidak usah.” Hanna cepat-cepat menggeleng. “Aku mau bertemu temanku, kok di dekat sini. Aku pergi sendiri saja.”

“Ya, sudah kalau begitu. Terima kasih sudah datang.”

Hanna dan Jimin bersamaan meninggalkan ruangan. Hanna tidak bisa menahan senyum melihat interaksi Jimin dan Abel di dalam lift. Meski sebagian besar Abel meletakkan kepalanya di pundak Jimin, tapi dia selalu menyahut kalau diajak bicara. Jimin juga sangat pandai berbincang dengan putrinya. Luwes, menyenangkan. Percakapan mereka sangat alami seolah teman sepantaran. Hanna tak habis pikir bagaimana Jimin menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan Abel, agar figur seorang ayah tidak hilang dari masa kecilnya.

Apa istrinya bekerja juga, ya?

Hanna tak bisa menghentikan pertanyaan itu dari kepala. Ia hanya menerka kalau Abel sangat lengket pada Jimin, jadi sering rewel kalau ditinggal bersama ibu. Yah, terkadang memang ada anak seperti itu. Jungkook waktu kecil dulu juga, kalau bangun tidur tidak melihat ibu maka dia akan menangis sekencang-kencangnya sampai membuat Yoongi menggelegak. Lucunya, dia tidak pernah mau diajak jalan berdua saja dengan ayah.

Itu terjadi dulu, sih. Sekarang ayah dan anak itu bergaul cukup baik. Main sepeda, jalan sore, main baseball. Menyenangkan untuk dilihat.

Mereka berpisah di depan gedung. Jimin sudah ditunggui mobil dan supir yang kemudian membukakan pintu untuknya. Ia memberi senyum pada Hanna sebagai salam perpisahan. Bahkan setelah mobil itu menjauh, otak Hanna masih bisa menciptakan ulang aroma dan gambaran semua hal tentang Jimin dengan sangat jelas.

Bentuk bibir plump yang menarik, mata menekuk seperti bulan sabit terbalik kalau tersenyum, rambut hitam tebal dan berkilau seperti iklan sampo di televisi, wajah bagai porselen alias glass effect yang membuat kosmetik dan skin care Korea jadi tambah tenar. Tidak ada rambut halus di wajah Jimin, Hanna duga dia benar-benar sangat menjaga penampilan.

Lalu, wangi lemon segar itu.

Sialan. Kalau begini aku bisa-bisa mendatangi cenayang saja supaya diterima bekerja apapun caranya.[]

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Edenic {✓} SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang