7. Sebuah Keputusan

2K 264 19
                                    

Terakhir kali Aily menengok Mifta ke rumah sakit seminggu lalu. Waktu itu Mifta masih bisa duduk bersandarkan bantal-bantal yang ditumpuk di bagian belakang punggungnya, sekarang perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu hanya bisa menyambut kedatangan Aily dan teman-temannya dengan tubuh lemah yang terbaring. Yang lebih memprihatinkan, hanya dalam kurun waktu yang singkat itu, bobot tubuhnya pun menurun drastis. Jika ada yang tidak tergerus dari Mifta adalah pijar dan senyum optimisnya.

Aily dan yang lain datang membawa cerita menyenangkan seputar Absarina. Kendati tak lagi memiliki kekuatan fisik, tapi Mifta mendengarkan dengan tekun. Sesekali suara lirihnya terdengar mengucapkan terima kasih.

Melihat kondisi fisik Mifta, tak ayal membuat Aily merasa sedih. Tapi bagaimana mungkin dia menunjukkan kelemahan itu jika Mifta justru masih bersemangat melawan penyakitnya. Di tengah lamunan panjang tentang kondisi Mifta, sebuah genggaman tangan, tidak terlalu erat singgah di jemarinya. Aily tersadar dan mendapati bibir Mifta sedang berusaha menyuarakan namanya.

"Ya, Mbak?" Aily refleks menundukkan tubuh lebih dekat ke arah Mifta, lalu membalas genggaman tangan itu.

"T-terima kasih selama ini udah sabar dengarin curhat-curhatku," katanya dengan suara yang lirih dan terbata-bata.

Aily tersenyum lebar. "Emang udah gitu seharusnya, Mbak. Lagian gue kan juga lebih sering ngerepotin Mbak Mifta."

Meskipun bukan pengurus inti, semenjak menjadi Sahabat Absarina, Mifta kerap ikut rutin ditiap kegiatan yayasan. Terkadang menginap di asrama bersama Aily. Berbincang sampai jauh malam untuk saling menguatkan satu sama lain.

"Mbak Mifta berjuang terus ya. Mbak udah pernah melewati masa-masa lebih pahit dari ini, jadi Mbak Mifta pasti juga bisa melewati yang sekarang."

"A-aku nggak akan nyerah lagi. Tapi kalau takdir berkehendak lain, aku bisa apa?" Kalimat itu diucapkan terpatah-patah, nyaris tanpa getaran di pita suara, hanya serupa desahan, tapi semua yang berada di ruangan itu bisa mendengarnya.

Aily menggigit bagian dalam bibirnya menahan luapan panas yang menjalar di pelupuk mata. Sepanjang berada di Absarina, ini kali ke dua dia berada disituasi yang sama, menyaksikan semangat hidup seseorang yang begitu membara pelan-pelan tersusut oleh takdir.

"Aku cuma bisa bilang, t-terus semangat buat kalian semua,” tutur Mbak Mifta lagi.

"Mbak harus sehat lagi, kita berjuang sama-sama di Absarina, Mbak."

Mbak Mifta tersenyum dan mengangguk pelan menanggapi ucapan Lulu.

Tak lama kemudian Aily dan teman-temannya meninggalkan ruang rawat inap. Sebagian ada yang langsung meninggalkan rumah sakit, ada juga yang masih duduk di selasar kamar perawatan, sampai kemudian hanya menyisakan Aily dan Luca di sana.

"Kalo lihat kondisi Mbak Mifta, aku jadi mikir, kalau aja dulu Mbak Mifta mendapatkan penanganan lebih dini, mungkin sekarang kondisinya nggak akan sedrop ini," tutur Aily.

"Siapa yg tahu? Lagi-lagi semua balik ke kuasa Tuhan."

"Bener, tapi kalau jadi Mbak Mifta, siapa yang nggak akan terguncang menghadapi dua kenyataan pahit sekaligus? Suaminya berselingkuh dan kehilangan bayinya karena terinfeksi. Aku nggak bisa bayangin gimana terpukulnya dia waktu itu."

"Makanya gue berkali-kali bilang, bukan cuma fisik, untuk bertahan, mental pun juga harus disehatkan."

Kata-kata Luca membuat Aily menarik napas panjang. Beberapa hal menjejali benaknya, terlalu banyak sampai Aily tanpa sadar tercenung memikirkan semua itu.

"Apa yang lagi lo pikirin?" Aily tersadar dari lamunannya, dan mendapati Luca tengah mengamatinya.

"Sedang memproyeksikan diri sendiri," tidak tahu mengapa dari begitu banyak hal yang berotasi di kepalanya, Aily memilih mengucapkan kalimat itu, padahal itu adalah satu dari banyak hal yang selalu ada dalam ketakutannya.

"Setiap manusia yang hidup pasti mati, kan?" Luca berujar pendek. "Walaupun besar kemungkinan seperti itulah refleksinya nanti, tapi gimana kita mati masih tetap jadi rahasia Tuhan."

"Terlalu mengerikan, sampai-sampai rasanya gue nggak kepengin punya bayangan apa-apa tentang masa depan."

Luca masih menatap Aily lurus.

"Intinya selama kita masih dikasih kesempatan buat bernapas, kita wajib mengusahakan untuk bertahan hidup. Seenggaknya dengan cara begitu kita bisa melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan yang pernah dilakuin."

Kembali Aily terdiam. Lama.

Ucapan Luca memunculkan sekelumit pertanyaan yang membuat Aily berpikir jauh tentang waktu dan kesempatan. Tentang cerita yang belum terselesaikan. Tentang maaf yang hingga kini belum terucapkan.

Dan, tentang seseorang yang telah disakitinya terlalu dalam.

***

Rapat acara penyuluhan baru saja selesai, tapi Aily dan beberapa pengurus masih terlihat berada di seketariat yayasan, melanjutkan keperluan lebih lanjut untuk mengurus proposal dan lain sebagainya. Disela-sela aktifitas mereka, pembicaraan mengenai kondisi Mifta masih mendominasi suasana. Aily mau tidak mau diusik lagi oleh kecemasan yang sama seperti saat di rumah sakit. Tentang keresahan yang sudah tinggal terlalu lama. Padahal tadinya dia berharap, kesibukan bisa menenggelamkan semua keresahan itu.

Ditambah, ketika melihat orang itu lagi, membersitkan keinginan untuk membuat pengakuan atas apa yang selama ini dia simpan. Bukan berarti Aily bermaksud memberitahu rahasia besarnya pada orang itu. Dia hanya ingin meringankan sedikit beban yang selama ini dia bawa.

Dia pikir pilihan yang diambilnya dulu sudah yang paling benar dan terbaik. Jauh di dasar hatinya, menyaksikan bagaimana takdir merenggut satu per satu senyum dan semangat seseorang, keyakinan itu mulai meretak pelan-pelan. Meninggalkan hanya penyesalan.

Seandainya dia memilih cara yang lebih baik untuk pergi, mungkin kecemasan ini tidak akan sebegitu meresahkan.

Dalam keadaan gamam, Aily mengeluarkan ponsel. Dia diam beberapa jenak, menimbang sambil menatap nama Vic yang tertera di layar ponsel. Sebelum keraguan itu melumatnya lebih jauh, Aily menekan tombol pesan. Hanya satu harapannya, Vic tidak lagi membencinya.

***

Selamat hari senin, kalian. Yang baru menemukan cerita ini, silahkan berjejak di cerita ini yaaa....

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Interval Where stories live. Discover now