6. Asumsi Kesetiaan

2K 297 23
                                    

"Nggak apa-apa kan gue nebeng sekali lagi buat ambil kendaraan gue di HMC?" tanya Lyric begitu kelas privat keponakannya selesai.

Dan Vic sudah menduganya bahwa dia harus kembali membonceng gadis itu dengan motornya lagi saat Lyric bersikeras menjadi penunjuk jalan ke rumah keponakannya dengan satu kendaraan saja. Saat melihat Lyric naik ke motornya, Vic berpikir ini kali pertama setelah kurun waktu setahun lebih, dia membiarkan ruang itu dihuni orang lain, selain Qouri dan Nero. Vic merasa sedikit aneh dan berharap semoga penyakit motor tua ini tidak kambuh di saat-saat seperti ini.

"Gue bahkan nggak keberatan kalau pas di tengah jalan nanti harus ikut dorong motor ini karena mogok," tukas Lyric mantap berusaha meyakinkan Vic.

Seolah kalimat itu jadi mantra pengundang, mesin motornya mati di setengah perjalanan mereka menuju HMC. Lyric turun dari motor sambil terkekeh. Setelah mencoba mengurus motornya tapi gagal membuat mesinnya menyala kembali, mereka akhirnya berakhir di bengkel terdekat.

Saat motornya di bengkel, Vic sudah menyarankan Lyric untuk menyambung sisa perjalanan dengan taxi online, tapi gadis itu kekeuh ingin menemani Vic hingga motornya selesai diperbaiki. Sekarang kurang lebih sudah satu jam mereka duduk di bengkel, hingga hari mulai beranjak gelap.

Selama montir memperbaiki motornya, mereka bicara banyak hal hingga membuat aktivitas menunggu itu jadi tak terlalu membosankan. Selain supel dengan sifat terus terangnya, Lyric mudah membangun suasana, topik pembicaraan mereka berkembang seiring waktu, mulai hal-hal remeh yang mereka lihat di sekitar tempat itu, membahas aktivitas sehari-hari, tentang musik sampai harapan untuk masa depan.

Sebenarnya Vic lebih banyak mendengarkan, Lyriclah yang bercerita banyak tentang dirinya dan mengomentari apa pun. Sekarang Vic jadi tahu, selain aktif di modeling, Lyric juga mahasiswi jurusan Public Relation, tingkat tiga. Mengetahui praktis ilmu yang dipilih, tidak mengherankan melihat bagaimana pembawaan dan interaksi Lyric selama ini.

Rasanya sudah begitu lama sejak dia lebih sering menghabiskan waktu sendirian. Dalam kurun waktu setahun ini, selain dengan personil Viruz dan beberapa muridnya, Vic sadar dia sudah jarang bersosialisasi. Waktunya lebih banyak dihabiskan di ruang studio, bersama partitur dan alat-alat musik. Sekarang berbicara dengan Lyric, Vic merasa seperti kembali menjadi manusia normal.

"Gue nggak bisa bayangin tiap hari lo harus menghadapi masalah yang sama, pasti merepotkan," ujar Lyric, seakan gadis itu menunggu momen ini untuk membahasnya. "Eh by the way, Qouri sering banget ngeluh soal motor lo yang sering mogok ini," ujarnya sambil tertawa geli.

Vic menghela pendek. "Iya, dia selalu marah-marah soal motor gue."

"Lo nggak ada niat ganti kendaraan gitu?"

"Belum."

"Kenapa?"

Sambil mengembuskan napas pelan, pandangan Vic tertuju lurus pada motornya yang sedang diperbaiki. "Lebih ke belum ketemu alasan yang bikin gue harus mengganti kendaraan baru."

"Kalau gue, alasan mogok itu aja udah jadi alasan kuat buat upgrade ke kendaraan baru," balas Lyric dengan intonasi agak takjub.

Vic tersenyum simpul. "Yah, standar setiap orang berbeda-beda, kan?"

Kedua alis Lyric terangkat. Selanjutnya dia mendapati tatapan gadis itu berbinar penuh semangat, membuat kulitnya yang sawo matang, bersemu di bagian pipi.

"Oh, kalau gitu biar gue simpulkan," ujarnya sambil memperhatikan Vic dengan tatapan menilai, sebelah tangannya menopang di pipi. "Menurut gue orang yang bisa bertahan menggunakan satu barang tertentu dalam kurun waktu yang cukup lama, bisa jadi dia juga termasuk orang yang setia dalam hubungan," Lyric terdiam, seperti menunggu untuk melihat reaksi Vic. "Buktinya walaupun sudah tahu barang itu bisa menghambat aktivitas, tapi tetap dipertahankan. Motor lo jelas bukan motor antik, jadi seharusnya itu bukan alasan untuk di koleksi, kan."

Vic mengangkat alis menatap Lyric. "Analisa yang menarik. Tapi penelitian dari mana lo bisa menghubungkan dua hal itu?"

"Oh, jadi lo bukan tipe cowok setia?"seloroh Lyric langsung sambil meluruskan punggungnya, membuat anting besar berbentuk lingkaran yang dikenakan gadis itu bergoyang-goyang.

Kontan Vic tertawa.

"Sebenarnya motor itu nggak seburuk yang Qouri ceritakan," balas Vic.

"Jadi mogok di saat-saat tertentu? Wah, gue ngerasa tersanjung kalau gitu."

Vic tertawa lagi.

"Nggak. Itu bukan kalimat sarkas lho. Gue serius, Vic," Lyric menegur sembari menatap Vic. "Dengan begini kan gue jadi punya momen langka ngobrol banyak sama pentolannya Viruz Band."

"Omongan lo seakan-akan gue orang penting."

"Eh, iya bener kali. Orang yang susah banget ditemuin itu, apa namanya kalau bukan orang penting? Berapa puluh kali coba gue berusaha hubungin lo tapi nggak pernah direspons?"

Tersentil oleh keterusterangan gadis itu, Vic mengamati Lyric. Tentu saja dia tidak berniat memberitahu bahwa sebelumnya memang sengaja menghindar dari gadis itu.

"Maaf, mungkin waktu lo telepon, gue pas benar-benar lagi nggak bisa angkat telepon. Gue emang jarang pegang handphone soalnya," sahutnya.

Lyric tersenyum ringan. "Percaya, gue tahu kali lo sibuk. "Oh ya, Vic, sekarang lo lagi menjalin hubungan sama seseorang?"

Pertanyaan itu membuat Vic sedikit terkejut dengan topik yang tiba-tiba berubah. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan yang diucapkan dengan nada ringan itu. Kembali diamatinya gadis itu, beberapa helai rambutnya yang sebatas bahu yang diikat asal, mencuat menutupi sebagian sisi wajahnya.

"Hanya mau memastikan, gue nggak mau salah langkah," tukas Lyric karena Vic tak kunjung bersuara.

Vic hanya mendengar kata-kata gadis itu dalam diam, merasa tidak ingin menjawab sesuatu yang begitu pribadi.

"Ini off the record ya, sebenarnya udah lama gue naksir sama lo. Sejak kita satu sekolah dulu, kalau lo pengin tahu. Tapi karena satu dan lain hal, gue buat perasaan itu cuma sebatas itu. Dan sekarang, gue bisa ketemu lo lagi setelah gue satu management sama Qouri. Wah, buat gue ini jadi semacam kesempatan kedua."

Dari semua ucapan terus terangnya, juga sifat blak-blakannya, bagi Vic ini ungkapan yang paling mengejutkan. Dia tidak menduga Lyric punya nyali sebesar itu mengakui perasaannya. Dan lagi-lagi Vic hanya bisa terdiam karena tidak tahu bagaimana harus menanggapinya.

"Boleh gue tanya sesuatu, Vic?" tanya Lyric kemudian, intonasinya berubah pelan, tatapannya juga berubah dari sesuatu yang berapi-api, jadi melembut.

Vic mengangguk samar.

"Kalau gue boleh tahu apa kriteria lo dalam memilih cewek?" Setelah melihat anggukan Vic, Lyric kembali bertanya. Sepasang matanya menatap Vic lurus-lurus seolah ingin menembus isi kepala Vic. "Apa dia harus anak band juga? Atau dia harus jago nyanyi? Atau cewek dengan rambut panjang?" lanjutnya.

Kali ini bukan hanya terdiam, tubuh Vic membeku. Seolah pertanyaan itu baru saja menghantam kepalanya dengan benda keras. Tiba-tiba saja isi kepalanya disesaki kegelisahan pekat. Penegasan terakhir dari Lyric membuat benaknya dengan liar membangkitkan berkas-berkas wajah seseorang.

Vic mengusap wajahnya. Berusaha melenyapkan bayangan itu. Tidak sepenuhnya berhasil, karena selama ini pun Vic tidak pernah bisa melakukannya dengan baik karena sosok itu menempel kuat serupa bayangan di balik benaknya.

Perlahan, di antara kegelisahan yang mulai menjalari Vic, dia mengembuskan napas. Vic ingin memecahkan kegelisahannya dengan mengatakan sesuatu, tapi dia tidak tahu apa yang harus diucapkan. Sampai kemudian yang terdengar lagi-lagi hanya suara Lyric.

"Kalau kriteria lo seperti itu, Vic, berarti... lo baru aja mematahkan hati gue untuk yang kedua kalinya."

***

Interval Where stories live. Discover now