1. Perisai yang Rapuh

14.8K 695 41
                                    

Halo, kalian, apakah masih ada yang masukin cerita ini ke library.

Fyi, setelah sempat diunpublish, cerita ini aku post ulang, dengan judul baru dan beberapa revisi.

Selamat membaca kembali... Enjoy yaaa

***


"Dalam sebulan ini, Qouri sudah terlibat empat kali perkelahian," suara Bu Anita kembali terdengar setelah hampir lima belas menit Vic berada di ruang BK.

Selanjutnya terdengar tarikan napas panjang dari perempuan itu. Dan Vic tidak tahu lagi bagaimana harus merespons Bu Anita selain mengucapkan permintaan maaf.

Lagi-lagi Vic hanya bisa duduk dengan ekspresi tak enak hati karena untuk kali kesekian dia datang ke ruangan tersebut dengan alasan yang sama.

"Saya kira, Qouri bisa belajar dari kesalahan dan mau berubah. Tapi sepertinya, keberadaan kamu dan juga kemurahan hati saya selama ini membuat dia terus melunjak."

"Maaf kalau saya dan Qouri terus merepotkan Bu Anita. Apa pun hukuman dari Ibu, Qouri pasti akan melakukannya dengan senang hati," balas Vic, kemudian dia melanjutkan dengan sedikit ragu. "Hanya saja... jika masih bisa, permintaan saya masih sama, Bu."

Punggung Bu Anita yang semula bersandar di kursi, maju mendekati tepi meja. "Selama kamu terus menjadi perisainya, tidak akan ada yang berubah, Vic."

Untuk kali pertama setibanya dia di ruangan itu, Vic memperhatikan Qouri. Meskipun terkesan tak acuh, Vic yakin telinga gadis itu masih berfungsi dengan baik untuk menyimak percakapan ini.

"Sudah saatnya Qouri menerima buah dari perbuatannya selama ini," ujar Bu Anita yang langsung mendapat perhatian penuh dari Qouri. Dengan tenang Bu Anita membalas tatapan Qouri. "Saya tidak akan berbicara ini di belakang, supaya kamu bisa mendengar langsung apa yang saya putuskan untuk kamu. Jadi Vic, mengenai hukuman ini apa kamu keberatan?"

Qouri meremas pergelangan Vic. Dan Vic hanya menghela pendek sebelum menanggapi pertanyaan Bu Anita.

"Saya nggak berhak melakukannya, Bu."

"Baik. Kalau begitu, hukuman yang saya rasa sepadan adalah dengan memberikan langsung penanganan Qouri kepada Pak Dorman."

Sebagai alumni di sekolah yang sama dengan adiknya itu, menurut sejarah, murid-murid yang bermasalah selama ini hanya dapat takluk jika berhadapan dengan Pak Dorman. Vic sudah menduganya. Belasan kali menghadapi murid dengan masalah yang terus berulang, perempuan itu pada akhirnya sampai di titik akhir kesabaran.

Remasan di pergelangan Vic semakin kuat. Vic mengerti isyarat itu, tetapi kali ini dia terpaksa mengabaikannya.

"Saya mengerti, Bu. Untuk semua yang selama ini sudah Bu Anita perjuangkan, saya sangat berterima kasih," tutur Vic.

"Bu Anita nggak adil. Masa cuma saya yang dihukum, yang berantem kan bukan cuma saya," sambar Qouri seketika.

"Mereka juga sudah mendapat hukuman. Hukuman kamu jadi berkali-kali lipat dari pada yang mereka dapatkan karena namamu sudah terlalu sering tertulis di catatan hitam sekolah. Apa perlu saya bacakan satu per satu pelanggaran yang kamu lakukan untuk menyegarkan ingatanmu?"

"Saya akan ngelakuin apa pun yang Ibu suruh, tapi jangan serahkan saya ke Pak Dorman. Ibu sama aja mau bikin saya mati muda. Saya janji ini yang terakhir kali. Ya, Bu, please...." akhirnya Qouri mulai memohon karena tak mendapat dukungan dari Vic.

"Kalau bukan karena kamu adik Vic, sudah lama saya menyerah." Wajah Bu Anita yang ramah kehilangan senyumnya ketika sekali lagi tatapannya terarah pada Qouri. "Bukannya selama ini, saya sudah sering mengingatkan?"

Interval Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang