Bagian 5

4.1K 381 13
                                    

Aku sedikit mempercepat langkahku ketika melihat Guntur sudah stand by di depan gerbang sekolahku. Ia duduk di atas motor sport-nya dan menarik perhatian anak-anak sekolahku yang lewat, terutama cewek. Guntur memang tajir, ganteng pula. Aku mengenalnya di tempat les. Baru, sih. Aku baru mengenalnya seminggu terakhir. Dan kami jadi dekat. Lumayanlah kalau Mama tidak bisa jemput, aku bisa nebeng Guntur. 

"Udah lama?" tanyaku sambil tersenyum padanya. Guntur balas tersenyum sambil menyerahkan sebuah helm berwarna putih, yang kontras dengan helm hitamnya, kepadaku. Aku menerimanya.

"Nggak, kok. Baru aja. Ayo. Kita makan dulu, ya? Aku laper," keluh Guntur dengan wajah yang diimutkan.

Aku terkekeh dan mengangguk. Kemudian memakai helm putih dari Guntur. Aku menoleh ke sekeliling, barang kali melihat Vina. Tapi, saat aku menoleh ke belakang manik mataku justru bertemu dengan Angga. Berdiri tak jauh dariku, ia menatapku secara terang-terangan. Dingin.

"Sar." Guntur menepuk pundakku. Aku menoleh.

"Kenapa?" tanyaku.

"Lo yang kenapa? Liat apa, sih?" Guntur melongokkan kepalanya mengikuti arah pandangku tadi. "Nggak ada siapa-siapa."

Aku ikut menoleh. Benar. Angga menghilang. Tak ada siapa-siapa. "Tadi temen gue. Udah pergi mungkin. Ayo pergi! Katanya lo laper."

○○○

Suasana rumah makan padang yang kami datangi cukup ramai. Guntur yang membawaku kemari. Katanya ini rumah makan langganannya.

Rumah makan ini sederhana dan mainstream. Maksudku, terlihat seperti rumah makan padang kebanyakan. Sedikit sulit dipercaya kalau ini adalah selera orang kaya macam Guntur.

Aku? Tak masalah. Asalkan bukan udang, aku masih bisa memakannya. Asalkan ia tak menyatakan perasaannya sekarang, aku masih bisa makan dengan kenyang.

Aku alergi pada udang dan.. komitmen.

"Hey, kok ngelamun? Itu makanannya dimakan, jangan diaduk-aduk doang, Sar," tegur Guntur. Aku meringis, pelan. "Mau gue suapin?" tanyanya kemudian, dengan senyum menggoda.

Aku membalas senyumnya dengan sangat manis. "Nggak perlu. Tangan gue masih lengkap, kok."

Aku mengibaskan rambut-lumayan-panjang-ku, yang berada di sekitar bahu, ke belakang. Bukannya sengaja, ini efek panasnya suhu udara.

Ia terkekeh. Kemudian kami melanjutkan makan dalam diam.

Melamun, ya?

Bukan. Aku tak melamun. Tapi, apakah Guntur akan percaya kalau aku bilang aku merasa ada seseorang yang terus saja mengawasi kami?

Bukan kami. Mungkin lebih tepatnya.. aku.

Angga?

Itu yang pertama kali kupikirkan. Tapi, sedari tadi aku melirik sekeliling, baik secara terang-terangan atau melalui pantulan sendok dan kaca etalase, aku tak dapat melihatnya.

Aku mengelap keringat di dahiku dengan tisu. Lama-lama aku bisa gila.

Aku melihat Guntur yang tengah meneguk jus alpukatnya. Ia sudah selesai makan. Kemudian pandanganku beralih ke piringku sendiri. Daging rendangnya masih utuh dan nasiku masih sisa setengah. Aku tak sadar sedari tadi hanya mengunyah nasi putih dengan bumbu rendang.

"Guntur, balik, yuk," ucapku lalu ikut meneguk jus alpukatku sendiri. Aku memindahkan anak rambutku, yang sedikit basah karena keringat, ke belakang telinga. "Mama bisa marah kalau gue balik kesorean."

Guntur melirik jam tangannya. Ia mengangguk pelan. "Ya udah. Ayo balik. Nyokap lo mau dibungkusin apa?"

"Nggak usah. Mama gue ada kolesterol."

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang