Bagian 6

4.1K 391 28
                                    

"Nggak."

Aku melotot ketika menyadari bahwa akulah yang baru saja berbicara, membuat Angga dan Guntur menatapku. Guntur dengan tatapan heran dan Angga dengan tatapan tajam.

Ah, sialan. Aku terlalu tegang sampai-sampai menyuarakan isi hatiku.

Aku meringis. "Nggak perlu, maksud gue. Gue mau naik ojek online aja. Hehe. Nanti Angga kerepotan." Aku menggaruk belakang kepalaku sembari mengalihkan tatapan. Sedikit khawatir kalau kedua mata tajam Angga itu bisa membuatku buta.

"Nggak, kok. Gue nggak repot." Aku kembali menatap Angga yang kini tersenyum padaku. Aku terdiam.

Benar-benar menarik.

"Dengerin tu! Lo balik sama Angga aja. Biar gue tenang." Aku mengerjap setelah mendengar seruan Guntur.

Aku bisa mendengar Angga terkekeh pelan. Pipiku memanas. Sepertinya ia sadar sedari tadi aku memperhatikannya.

"Oke, Sar?" Guntur menyenggol bahuku. Kalau dipikir-pikir lagi, ia benar-benar cowok yang tak peka.

"Oke," jawabku singkat. Astaga, mulutku! Padahal aku ingin bilang tidak!

Salahkan Angga dan senyumnya!

"Duluan, Tur," ujar Angga. Kemudian ia menarik tanganku mendekat padanya, di depan Guntur. Aku melotot. "Ayo, Sar." Ia menyeretku pergi, entah kemana.

Aku menoleh pada Guntur. Bibirnya tersenyum. Tapi, pandangan matanya tak bisa berbohong. Ia tak suka. Aku meringis padanya. Tak lama. Karena pandanganku kembali ke depan saat Angga menggenggam tanganku lebih erat. Aku meringis pelan.

"Santai, Ngga. Gue bisa jalan sendiri." Aku menarik tanganku. Tapi, tak bisa. Dan Angga tak mau susah-susah mengeluarkan sepatah kata ataupun sekedar menoleh ke belakang, padaku.

Angga terus menarikku dalam diam. Perasaan khawatir mulai menyusup dalam dadaku. Ia mau membawaku kemana? Aku benar-benar tak tahu daerah sekitar sini. Aku menoleh ke belakang. Tak ada Guntur sedari tadi. Ini sudah terlalu jauh.

Saat Angga akan menarikku berbelok ke sebuah gang yang terlihat sedikit menyeramkan, aku berontak. Aku menghempaskan tangannya kencang. Seperti dugaanku, Angga lengah. Tautan tangan kami terlepas dengan mudah.

"Lo mau bawa gue kemana, sih?" tanyaku ketika Angga sudah berbalik menatapku.

"Ke mobil gue," balasnya datar. Tanpa ekspresi. Hell, kemana senyumnya tadi?

Aku merinding.

"K-kalo.." Aku tergagap saking takutnya, membuat ujung bibir Angga sedikit berkedut. Aku mengumpat dalam hati.

"Ehem. Kalo lo mau bawa gue ke gang itu," Aku menunjuk gang di depanku, berarti di belakang Angga. Tapi, tetap saja tak sedikitpun Angga mengalihkan tatapan tajamnya dari kedua mataku. "Gue nggak mau!"

Sebelah alis Angga terangkat. "Kenapa?"

Aku menurunkan telunjukku. Mengalihkan pandangan menatap jalanan. "Serem."

Sebenarnya, Angga lebih seram. Serius. Aku tahu. Sangat tahu. Ban motor Guntur tadi kempes bukannya tanpa alasan. Entah kenapa aku langsung mengaitkannya dengan kedatangan Angga.

Aku benar-benar takut. Tapi, aku lebih takut jika harus memperlihatkan ketakutanku padanya. Apa kalian lihat saat aku tergagap tadi ia tersenyum?

Tiba-tiba Angga mengeluarkan sesuatu dari belakang. Sepertinya dari saku celananya. Membuatku was-was dan mundur selangkah.

"Ini." Angga menyerahkan.. pisau lipat?

"Buat apa?" Aku sudah mengambil ancang-ancang kabur, kalau-kalau Angga menjawab akan menggunakannya untuk membunuhku.

Bukannya menjawab, Angga justru kian mendekatkan pisau lipat itu padaku. "Lo bawa aja. Katanya lo takut." Sejenak aku menahan napas. Khawatir ia akan menancapkannya di perutku. Ternyata tidak. "Mobil gue tadi emang gue parkir di gang itu," lanjut Angga.

Aku menerima pisau itu ragu-ragu. Kemudian kami mulai berjalan memasuki gang, tanpa bergandengan. Dan ternyata benar, mobil Angga di sini. Sedikit heran, kenapa ia harus memarkir mobil di tempat sepi begini? Gang ini mirip dengan gang-gang favorit para pelaku kejahatan di film-film.

Kami memasuki mobil, dengan aku yang terus menggenggam erat pisau lipat di tanganku. Pertanyaan-pertanyaan masih bercokol dalam benakku.

Untuk apa Angga menaruh pisau lipat di sakunya?

Dan kenapa dengan bodohnya aku menurut dan menerima pisau ini?

Siapa yang tahu ini bekas dia membunuh orang atau alat tindak kriminal lain?

Aku bergidik. Imajinasiku terlalu liar.

"Langsung ke rumah?" tanya Angga. Aku menoleh. Tatapan Angga sudah tak setajam tadi.

"Iya."

Hening. Angga masih diam sembari menatapku. Aku menatapnya balik karena heran. Apalagi yang ia tunggu?

Tanpa diduga, Angga mencondongkan tubuhnya padaku. Aku merapatkan punggung pada sandaran kursi. Angga tetap mendekat. Cowok ini mau apa?!

Aku mengacungkan pisau lipat yang sedari tadi kugenggam. Mata pisau yang mengkilat terlihat setelah aku memencet tombol di dekat jempolku. "Jangan macem-macem!" ucapku marah.

Pergerakan tiba-tibaku itu membuat Angga refleks mundur sembari mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia.. tertawa?

Indah.

Aku menggelengkan kepalaku. Aku tahu Angga memang menarik, tapi, sekarang bukan wantunya untuk mengagumi pesonanya yang memikat. Respons Angga benar-benar membuatku kebungungan. Aku mengerutkan dahiku.

"Gue nggak mau macem-macem. Cuma mau masang seatbelt lo," ujar Angga setelah tawanya reda sembari mengarahkan telunjuknya pada sesuatu di belakangku. Aku menoleh pada seatbelt di belakangku.

Aku meledak! Ini benar-benar memalukan!

Aku menurunkan pisau yang sedari tadi kuacungkan pada Angga. Melipatnya lagi lalu menaruhnya di pangkuanku. Aku kembali menatap kaca depan dengan tenang. Sialnya, wajahku terasa terus memanas. Ini sungguh memalukan! Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. "Maaf!"

Lagi. Angga tertawa lagi.

Aku tak bergerak se-inchi pun, sampai-sampai tawa Angga tak terdengar lagi. Boro-boro menatapnya, memperlihatkan wajahku saja aku tak sanggup.

Tiba-tiba aku merasa sesuatu yang hangat menerpa punggung tanganku. Juga terasa ada sesuatu di depanku. Atau seseorang? Jangan-jangan..

Aku menurunkan kedua tanganku. Dan, aku melihat Angga. Begitu dekat. Kurang dari lima senti mungkin, jarak antara wajah kami. Aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku dan mungkin juga sebaliknya. Ia menatap tepat di manik mataku. Rasanya seperti.. terhipnotis.

Klik.

Bunyi itu mengalihkan perhatianku. Aku menoleh ke bawah. Angga telah memasang seatbelt-ku. Aku kembali menatap Angga. Ia masih dalam posisinya, tak mau bergerak. Aku mulai gugup.

"Udah kepasang. Makasih." Aku mendorong kedua bahu Angga menjauh. Kemudian mengalihkan tatapan pada jendela di samping kiriku.

Aku bisa mendengar Angga terkekeh. Ia memasang seatbelt-nya kemudian mulai menghidupkan mobil. "Untuk kali ini, gue bakalan langsung anter lo pulang, kok, Sar."

Aku menoleh pada Angga. Ia juga, lalu tersenyum lebar padaku. Aku balas tersenyum kikuk. Kemudian kembali menatap jendela di sebelah kiriku.

Aku menggenggam erat pisau lipat di pangkuanku.

Jadi, maksudnya, lain kali ia takkan langsung mengantarku pulang, begitu?

○○○

Stalkerजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें