Kisah Akhir

247 19 12
                                    

Siang itu hujan turun dengan rintik seolah menemani Senja yang berbalut luka menatap pusara di hadapannya. Satu persatu, semua kawan pergi—memilih untuk meneduhkan diri dari tetesan air.

"Ayo pulang, Ja," suara Dony memecah keheningan, payung yang ia gunakan bertengger manis di atas kepala gadis itu—menghalangi air hujan yang mulai lebat.

"Nanti aja Don," jawab sang gadis yang seakan tak menyadari kebaikan Dony padanya. Maniknya masih setia menatap nisan kubur yang masih basah itu.

Dony, Bena, dan Dewa saling berpandangan. Diam kembali menjadi suasana canggung di antara mereka.

“Kenapa gue harus kehilangan lagi, Don?” suara serak Senja terdengar, seakan menahan tangis yang mungkin bisa meledak seperti kemarin-kemarin. Kepalanya menoleh, menatap sosok Dony yang masih setia berada di sampingnya.

“Lo ga kehilangan dia Ja, dia cuma pergi buat jagain lo,” sahut Dony yang sepertinya bingung harus berkata apa.

Senja menggeleng, “Kalo dia mau jagain gue, harusnya dia ga pergi,” gumam sang dara dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya.

Dony menghela napasnya kemudian menarik Senja ke dalam pelukan, sementara Bena dan Dewa mulai mendekat dan membantu menenangkan Senja. Hanya satu orang yang sejak tadi memperhatikan keempatnya dari kejauhan, tak ada sedikit pun keberanian baginya untuk menghampiri mereka.

“Kalau bukan karena—“

“Nja,” suara Dewa memutus kalimat yang akan dilontarkan oleh Senja barusan membuat gadis itu menatap Dewa dengan lekat, “Kenapa?” tanyanya dengan suara parau.

Dewa terdiam, pemuda itu hanya menghela napas lalu —
membuang pandangannya ke arah lain.

“Bukan salah siapa-siapa di sini,” ucapnya.

Senja tak menjawab selain sebuah senyum yang ia berikan pada pemuda itu. Baru saja Senja ingin berucap, Dony sudah menariknya menjauh.

“Udah Ja,” Dony menarik Senja menuju mobil dan mengantar gadis itu untuk pulang ke apartemennya. “Satrio juga ga akan suka lo berantem sama anak 5ISLE.” Itu ucapan pemuda jangkung berkacamata sebelum meninggalkannya tadi.

Senja berjalan lunglai, tatapannya kosong seakan tak ada hal yang dapat ia lakukan saat ini. Gadis itu terduduk usai menutup pintu, air matanya mulai menumpuk dan dengan segenap kekuatannya yang tersisa ia kembali menangis—meraung seraya memanggil nama yang terkasih. Satrio.

Minggu depan harusnya menjadi hari paling bahagia bagi Senja setelah bertahun-tahun terjebak perasaan dengan Mahendra. Satrio yang perlahan mengisi hati pada akhirnya berhasil menggeser posisi Mahendra, tanpa banyak bicara pemuda itu segera saja melamar Senja. Seakan memang mengetahui waktunya yang tidak banyak.

“Kamu mau ngundang Bagas?” tanya Satrio yang melihat nama teman satu bandnya itu tertulis di salah satu undangan mereka.

“Gapapa ‘kan?” tanya Senja.

“Mahendra kan juga temenmu,” ucap gadis itu lagi—dengan mendaratkan kecupan manis di pipi Satrio.

“Ya gapapa sih, kirain kamu gamau ngundang dia,” Satrio menarik Senja mendekat lalu memeluk tubuh sang dara dengan erat. Iya, dia Satrio si pria anti skinship namun pada akhirnya gemar memeluk kekasihnya.

Persiapan pernikahan keduanya sudah selesai, hanya tinggal menghitung waktu dan mempersiapkan mental. Sampai sebuah tragedi terjadi kemarin malam.

Hujan lebat mengguyur Jakarta sejak sore, Satrio yang saat itu seharusnya lembur memutuskan untuk segera pulang. “Aku pulang ke tempat kamu ya, Ja. Kayanya kalo ke rumah bakal macet karena banjir deh,” ucap Satrio yang membelokkan mobilnya ke arah jalan tol.

Merindukan Senja | Park SungjinWhere stories live. Discover now