Kisah Ketujuh

147 13 1
                                    

"Hachim!" Senja menggosok hidungnya yang mulai memerah dengan sehelai tissue. Cuaca di luar panas, tapi hanya gadis itu yang sibuk bersin sejak pagi.

"Udah minum obat?" suara berat milik Mahendra terdengar yang hanya dijawab gelengan kepala Senja. "Minum obat dulu," ucap sang adam lagi.

"Males," jawab Senja yang kini melangkah menuju kamarnya.

Kedua anak manusia itu tengah berada di apartement Senja. Usai sang dara mengatakan bahwa ia sakit, Mahendra buru-buru membatalkan latihannya dengan 5ISLE.

"Senjaaa, minum obat dulu," lagi-lagi Mahendra membujuk, kali ini mengikuti langkah Senja.

"Gamauuuuu," tolak sang puan yang langsung mendaratkan tubuh di atas kasurnya. Lagi-lagi, diikuti sosok Mahendra.

"Ya kalo gamau, ga akan sembuh dong?"

"Besok juga sembuh," ujar sang puan lagi.

"Mana ada, tiap kamu sakit 'kan besoknya langsung demam," timpal Mahendra tak mau kalah.

Senja tak menjawab, mengiyakan ucapan pria itu. "Ayo makan dulu, abis itu minum obat nyonya besaaarr." Mahendra gemas dan dengan mudahnya mengangkat tubuh ramping Senja untuk dibawa ke dapur.

"Mahendra kebiasaan!" Senja memberontak kaget, sesekali memukul punggung sang adam.

"Ringan banget sih kamu," komentar Mahendra yang berhasil mendudukkan Senja di kursi makan. "Diem, awas kalo kabur," ancamnya saat akan mencari obat untuk wanitanya.

Senja berdiam diri, memandangi punggung besar yang kini sibuk mencari obat di dapurnya. Punggung pria yang selama ini membuat hati Senja menghangat karena perasaan cinta yang membuncah.

"Nih, minum dulu." Suara Mahendra memecah lamunan sang puan. Segelas air putih dan obat pil penghilang flu disodorkan Mahendra yang langsung disambut Senja.

"Udah." Senja menyodorkan gelas yang kini kosong, obat tadi sudah lenyap diminum sang puan hingga tandas.

"Cepet sembuh, manis," ucap Mahendra seraya mengusak pelan surai kehitaman kekasihnya itu.

"Obatnya ngantruk, Ndra. Kalo aku tidur, kamu pulang?" tanya Senja.

Mahendra menggeleng, "Ya ngga lah, paling nemenin kamu. Masa aku tinggal sendirian?" Mahendra menatap Senja, tepat di manik sang puan.

"Cepet sembuh," bisiknya dengan senyuman manis. Lembut, Mahendra mendaratkan kecupan manis di kening sang puan.

Pada akhirnya, siang itu Senja tertidur pulas dengan pengaruh obat flunya. Sementara Mahendra hanya terbaring di sisinya tanpa bersuara.

Sore itu, Senja terbangun, menatap sisi ranjangnya yang kosong.

Ternyata mimpi. Tak ada Mahendra di sisinya bahkan sejak tadi ataupun sekarang. Gadis itu termenung, menatap sinar keemasan senja yang masuk melalui celah jendela kamarnya. Sampai sebuah nada ponsel mengejutkannya.

Satrio.

Nama di layar tersebut berhasil membuat sang puan tersenyum lebar. Buru-buru ia mengangkat ponselnya, "Ya, Yo."

"Kamu masih sakit?" suara dari ujung sana perlahan menghangatkan hati perempuan itu.

"Masih, kamu jadi ke sini?" tanya Senja yang dibalas dehaman oleh Satrio. "Iya, baru selesai manggung. Kamu mau aku beliin apa?"

"Es krim."

"Ja ... masa lagi flu makan es krim?" tanya Satrio heran yang lantas membuat Senja merengek, "Mau es krim Iyooo."

"Yaudah-yaudah, aku beliin," jawab Satrio, mengalah. Puan kelahiran 1993 itu tersenyum lebar kemudian mengakhiri sambungan saat Satrio akan berangkat ke tempatnya.

Butuh waktu sekitar 30 menit bagi Satrio untuk sampai ke tempat Senja. Matahari bahkan sudah terbenam, menyisakan siluet jingga di kejauhan.

"Udah minum obat?" tanya Satrio begitu Senja membukakan pintu apartementnya.

Gadis itu menggeleng, "Tadi 'kan udah," jawabnya dengan wajah memelas, menghindari reaksi Satrio yang pasti akan memarahinya.

Sebuah helaan napas terdengar, jika sudah begitu mana tega ia memarahi Senja.

"Nih es krimnya." Satrio meletakkan satu ember es krim di atas meja dapur Senja yang langsung dihampiri oleh sang dara dengan pekikan riang.

"Seneng?" tanya Satrio dengan menatap Senja yang kini sibuk membuka es krimnya.

Gadis itu mengangguk cepat, kemudian menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. "Satrio terbaik!" puji sang puan yang ditanggapi kekehan oleh teruna itu.

"Maaf, ya, tadi ga nemenin kamu," celetuk Senja tiba-tiba yang ikut duduk di sofa yang ditempati Satrio barusan. Sang adam menggeleng pelan.

"Gapapa, Ja. Maaf ga bisa bolos buat nemenin kamu." Satrio merubah posisi duduknya menjadi menyamping, memerhatikan sosok gadis yang tengah lahap memakan es krimnya.

"Kenapa sih makannya ga pernah bersih?" Satrio berkomentar sebal lantas segera memegang dagu Senja ke arahnya. Tanpa mengucapkan kalimat apapun, Satrio mencium bibir ranum itu. Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya Senja sadar bahwa Satrio tengah menciumnya.

Ia pun mendorong tubuh Satrio pelan, "Aku lagi sakit Yo," ucap Senja sambil menggeleng.

"Terus?" Satrio hanya menjawab begitu yang kemudian dengan agresifnya kembali mencium bibir Senja. Pemuda itu memejamkan matanya, melumat bibir sang puan dengan lembut sementara Senja berkutat dengan pikiran dan perasannya sendiri.

"Iyo." Senja kembali mendorong tubuh Satrio perlahan.

"Nanti kamu ketularan," sambung Senja saat mendapatkan tatapan bingung sang adam.

"Gapapa, biar aku ambil penyakit kamu," ucap Satrio yang kini kembali mencumbu kekasihnya itu. Satrio merapatkan tubuh mereka, menyampingkan ember es krim yang menghalangi sebelum akhirnya berhasil memeluk tubuh Senja dengan erat.

Bibir keduanya bertautan, saling melumat dan mengalirkan perasaan mereka berdua. Napas keduanya saling memburu, membuat mereka terpaksa melepaskan pagutan yang tercipta.

Mungkin, Mahendra pernah ada di hati Senja dan akan selalu tersimpan di tempat terbaik dalam hati sang dara. Namun, sosok Satrio telah membuat hatinya kembali nyaman dan hangat. Sebuah kecupan mesra dari Satrio mendarat di kening Senja.

"Aku cinta kamu, Ja."

"Aku lebih cinta kamu, Yo."

Merindukan Senja | Park SungjinWhere stories live. Discover now