Wanna be in Love ~ Part Six

Start from the beginning
                                    

Tapi ia terlihat tidak puas. "Aku tahu," katanya. "Tapi Quinton menerimanya."

Aku masih tidak melihat di mana keanehan yang dibicarakan Aro. "Tentu saja ia menerimanya. Aku sudah mengatakannya kepadamu, Dean Quinton ingin pertanggungjawaban."

"Dari ayahmu. Ini tidak ada sangkut pautnya denganmu sama sekali."

"Aku anak ayahku." Aku mengingatkan, seandainya ia lupa fakta itu.

"Lalu?"

"Lalu apa?"

"Memangnya kau yang menanggung dosa ayahmu?"

Astaga! Aku kelelahan dan lapar. "Apa kita perlu membahas omong kosong tidak masuk akal ini?" 

"Ini bukannya tidak masuk akal." 

"Lalu bagian mana yang masuk akal? Kau terlalu berprasangka buruk pada orang lain." Dia terlalu banyak menonton CSI dan Law and Order. 

"Dengarkan ini. Bukan kau yang meminjam mobil dan menabrakkannya." Aro menekuk jari kelingking dan mulai menghitung. "Bukan kau yang meminjam uang." Ia menekuk jari manis. "Tapi kau masih harus bekerja untuknya padahal mobilnya sudah diasuransikan. Jika Quinton mengancam akan memenjarakan ayahmu, aku mendukungnya seratus persen agar menjadikannya kenyataan. Yang terpenting dari semuanya, kau juga mendapat gaji besar."

Aku membuka mulut untuk membantah. Tapi Aro menahanku.

"Tidak. Dengar. Dia pria sukses, Alex, dia tahu tentang hukum dan tanggung jawab." 

"Aku menyerah." Mengangkat kedua tangan seolah ditodong senjata. "Jadi apa intinya?" 

Matanya menyipit, sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyum culas. "Pasti ada sesuatu di balik ini semua. Apa dia memerhatikanmu?" 

Aku menggeleng pasrah. "Tidak." 

"Kau yakin?" 

Aku sudah tak tahan lagi. "Percayai apa yang ingin kau percayai. Aku ingin makan." Aku mengambil selembar uang dari dalam stoples kaleng bekas biskuit di meja lalu berdiri. 

"Aku ikut denganmu." Ia merangkul pundakku ketika aku mengunci pintu. "Mau kencan denganku?" 

"Kapan?" 

Aro mengedik. 

"Ke mana?" 

"Shakespeare in the Park, Troilus and Cressida akan dipentaskan sampai pertengahan bulan depan." 

Shakespeare! "Kau benar-benar ingin nonton itu?" 

Bibirnya mencibir sambil menimbang-nimbang, lalu tertawa. "Tidak juga. Hanya ingin jalan-jalan." Kami berhenti di sudut blok sambil memperhatikan sekitar. "Kau ingin makan apa? Masakan Cina, pizza, atau hot dog? Tapi kusarankan jangan hot dog, meski itu mengingatkanmu pada sesuatu. Tapi kuyakinkan sama sekali tidak mirip dengan yang asli. Terlalu kecil." 

Aku terkikik geli, menyeretnya ke restoran Cina di seberang. Aro membukakan pintu untukku. Lalu duduk di salah satu meja yang kosong di dekat jendela. 

Ini minggu ke-dua aku bekerja di sini. Aku sudah mulai terbiasa dengan cara kerja Dean Quinton yang memang perfeksionis. Pria itu mengingat detail dengan tajam. Bicaranya dingin, jika tidak bisa dikatakan ketus atau sombong. 

Sangat berbeda dengan kekasihnya yang ramah namun ... dangkal. Terkikik setiap saat, memberi komentar untuk semua hal remeh, atau memberi pendapat tidak masuk akal. Selama dua minggu ini, hampir setiap sore Sophia Biggins datang ke kantor. Kemudian mereka akan berkencan. Di beberapa kesempatan aku memesankan tempat di restoran mahal untuk mereka. 

CRAZY IN LOVE (REPUBLISHED)Where stories live. Discover now