"Kau anaknya, berburu makhluk yang mirip Mehdiard," singgung Mar.

"Namun, aku tidak seperti ayahku yang suka 'memukul rata'."

"Bijak sekali. Kau emang pantes menyandang gelar pahlawan. Oh, iya, waktu itu kau pernah bilang bahwa ibumu sekarat. Bagaimana bisa?" tanya Mar.

"Ibu kami adalah satu, dia adalah Ratu Lidaras, ibu dari semua ras. Perang saudara membuat ibu kami sekarat," jawab Orkanois.

"Ibu dari semua ras? Semacam ratu lebah? Memangnya ada berapa ras?"

"Aku tidak tahu apa itu ratu lebah. Yang pasti, ratu kami adalah ratu sekaligus ibu dari penghuni planet Orka yang memiliki 12 ras. Suatu saat nanti akan aku ceritakan lebih rinci tentang kehidupanku dan kehidupan di planetku," jawab Orkanois.

"Hoo, ok. Ngomong-ngomong, malam kita akan kerja ekstra."

"Manusia jenis apa yang akan kau buru. Apa dia kuat?" tanya Orkanois.

"Masih tergolong ke manusia sampah, orang yang gemar cyber bully. Menindas lewat dunia maya. Mereka manusia-manusia rusak yang nggak layak hidup, sesuai dengan target buruanmu. Jumlah mereka banyak, lokasi dan latarnya juga berbeda-beda. Walau kita bisa berteleport mencari mereka, energi dan pikiran akan terkuras ketika melacaknya," ujar Mar.

"Kau ingin membasmi pelaku cyber bully. Karena kau anggap sebagai kematiannya Ris Laura?"

"Ya. Kabar soal Ris Laila yang bunuh diri. Ia merasa malu dan tertekan oleh hujatan yang ia terima di dunia maya, karena kedapatan sedang mengonsumsi obat-obatan terlarang."

"Aku tidak mengerti dunia maya. Tapi sepertinya, dunia maya bagaikan senjata ampuh untuk membunuh individu," ujar Orkanois.

"Bunuh diri adalah tindakan paling pengecut. Berlaga seolah menjadi orang yang paling menderita di hidup ini. Tidak mau menghadapi masalah, yang justru suatu masalah akan menjadikannya kuat. Berpikir seolah tidak ada jalan keluar selain kematian, dan tidak menghargai hidup yang sudah Tuhan berikan," balas Mar.

"Berbicara seperti itu, tapi yang kau lakukan justru seenaknya mengambil nyawa," sindir Orkanois.

Mar hanya diam saja tak membalas.

Bel berbunyi, jam istirahat pun selesai. Ia menuju kelasnya melewati siswa-siswi di sekolahnya yang sedang asik membicarakan sosok misterius pembasmi kejahatan ini.

"Superhero. Cuma bedanya dia bener-bener low profile. Jadi, jangankan aksinya, wujudnya aja dia sembunyiin."

"Paling juga polisi."

"Ah bomat. Yang penting aku fans-nya!"

"Eh, belum tahu aja nanti si Galang ngebongkar misterinya. Btw, aku mah fans-nya Galang aja."

Mar melewati kerumunan orang-orang yang sedang membicarakan misteri itu, padahal dalangnya sedang jalan santai melewatinya.

Kebiasaannya pulang di jam terakhir pun masih dilakukan oleh Mar. Namun, hari ini ia tidak seperti biasanya, ia hanya diam layaknya orang yang sedang kosong pikirannya.

Tak lupa, Fiala juga mempunyai kebiasaan pulang larut karena mengerjakan tugas di kelasnya. Pada sore itu, Fia memberanikan diri menengok ke arah Mar yang duduk di banjar tengah barisan paling belakang, bermaksud untuk menanyakan tugas yang ia tidak mengerti.

"Mar, psst ...!" panggilnya dengan suara kecil. "Mar! Mara!" Mengeraskan suaranya.

"Ya?" jawab Mar sambil mendekati Fia ke depan.

"Bisa nggak kamu jelasin yang ini. Aku agak kurang paham," pinta Fia.

"Oh, ini. Gini caranya ...." Mar menjelaskan.

Dalam hati Fia dia terus bergumam, "AAAAA... Hey Fia! Kamu sadar nggak apa yang kamu lakuin, hah?!? Kamu lagi ngomong sama Mar. Kuatkan, kuatkan! Jangan takut, rileks ... Jangan sampe terlihat mencurigakan. Tenang diriku tenang!"

"Fia? Fia! Kamu udah paham?" tegur Mar.

"Ya? Ya tentu. Jadi gampang yah. Makasih, Mar," balasnya.

Namun dalam hatinya. "Agila. Mana aku paham. Aku terlalu panik karena berhadapan dengan orang yang nggak bisa diprediksi kayak kamu."

"Kalau kamu masih belum paham. Ada penjelasannya di buku paket halaman 154," tambah Mar.

"Oh, iya. Makasih," ucap Fia. Mar kembali lagi ke bangkunya.

Mar bersiap untuk pulang. Namun, langkahnya terhenti di balik pintu keluar.

"Fia!" Ia menurunkan tangannya dan hendak bertanya sesuatu kepada Fia tanpa membalik wajahnya.

"Iya?" jawabnya. "Duh apa lagi? Kalau mau pulang, pulang aja sana!" dalam hati.

"Kamu tahu 'kan?"

"Tahu apa?"

"Bahwa aku ... bukan orang baik."

Tidak sepanik tadi, Fia memberikan ekspresi yang tenang dan menjawab, "Ya, semua orang juga mikir kalau kamu bukan orang baik. Tapi tenang aja. Wajar kok, manusia punya sisi baik dan buruk."

"Walau kelihatan diam aja. Tapi, aku tahu kalau Yuzar udah ngasih informasi tentangku ke kamu," balas Mar.

Fia menjawab dengan suara kecil, "Ya, aku tahu sedikit dari Yuzar ... bagian lain dari kamu.

"Aku minta lupain semua yang berhubungan denganku dan anggap nggak pernah terjadi. Atau kamu nggak bakalan lihat matahari lagi," pinta Mar seolah mengancam.

Fia berdiri, "Walau kamu maksa aku buat ngelupainnya, aku nggak akan ngelupain dan mengabaikannya begitu aja. Atas semua yang kamu lakukan waktu itu, justru You are my hero. Kamu punya hati yang besar menurutku."

"Walau yang bakal aku lakuin nanti adalah deklarasi perang kepada kaum manusia?"

"Kenapa nggak? Kamu pasti punya alasan bagus. Kayak pidato waktu itu. Kata-katanya seperti meremehkan guru-guru, tapi konten yang dibawa adalah hal positif."

Tanpa ada balasan dari Mar, ia langsung pergi.

Setelah lama Mar pergi ....

"Aaaaa! Fiaa! Apa yang udah kamu bilang tadi, haaaah?!? Situasi macam apa tadi? Cangggung parah!" teriak sesalnya.

BRAAGG!

Secara spontan dia membalik meja di hadapannya. Kelakuan anehnya dilihat oleh pak satpam yang hendak mengunci kelas.

"Dek, nggak papa?"

"Hehe, Pak Agus. Nggak papa, Pak, tadi ada kecoa, hehe."

ORKANOIS (END)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن