DIA

4.1K 369 21
                                    

Usaha Al untuk bertemu dan mengobrol dengan Felic membuahkan hasil. Berjam-jam dia menunggu Felic di depan pintu apartemen, mau tidak mau, terpaksa Felic meladeni Al. Kini mereka duduk di ruang makan saling berhadapan. Wajah Al terlihat letih dan kurang istirahat, wajar saja, berhari-hari tugas menerbangkan pesawat, lepas tugas dia masih mengurus Liza yang masih dirawat di rumah sakit.

"Mau bicara apa?" tanya Felic memecah keheningan di antara mereka.

Mata Al fokus memandang cangkir teh, tangannya tak berhenti memainkan cangkir itu.

"Aku minta kamu sabar dulu," pinta Al kini menatap mata Felic yang sendu.

"Sampai kapan?"

"Aku tidak bisa memastikannya kali ini. Karena keadaan Liza mengkhawatirkan."

"Sakit apa dia sebenarnya?"

Al menegakkan tubuhnya dan bersadar, dia menghela napas panjang. Felic memerhatikannya, seperti ada beban yang menimpa pundaknya saat ini. Dia duduk mendekat Al, lalu mengelus lengannya.

"Kalau kamu belum mau jujur, tidak apa-apa."

"Nggak, kamu harus tahu ini."

"Ceritakan," titah Felic dengan sabar dan setia mendengar cerita Al.

"Sejak remaja, Liza sudah menderita sakit ini. Setiap datang bulan, pasti dia tersiksa, kesakitan yang luar biasa sampai-sampai mengalami pendarahan setiap bulan dan itu menjadi kebiasaannya selama ini. Rahim Liza tumbuh sampai dua atau tiga kali ukuran normal. Setiap bulan dia harus kontrol, segala pengobatan sudah dilakukan, tapi, kali ini kondisinya sudah sangat memprihatikan," papar Al, membuat Felic merasa bersalah.

Selama ini Felic tidak memikirkan jika sakit Liza separah itu. Dia pikir sakitnya biasa saja.

"Terus apa saran dokter?" Dalam hati Felic mencuak perasaan empati.

"Belum ada tindakan dari dokter, tapi, kemarin tim medis menyarankan agar Liza menjalani histerektomi total."

Semakin mendengar cerita Al, besar tekad Felic untuk menjauhinya. Sekarang Liza lebih membutuhkan Al.

"Jika begitu, dampingi dia sampai sembuh. Kamu seorang suami, Al. Biar bagaimanapun, dia istrimu dan tanggung jawabmu. Kita yang salah," ujar Felic mengejutkan Al.

"Yang, jangan mulai deh .... Aku cuma minta waktumu buat menungguku, bukan meninggalkanku," mohon Al meraih tangan Felic yang ada di atas meja, lalu ia genggam erat. Matanya menatap ke dalam manik mata sendu Felic.

Sekuat tenaga Felic menahan tangisannya agar tidak jatuh. Dia harus teguh pada pendiriannya, semakin dia berusaha mempertahankan hubungannya dengan Al, akan membuat hati wanita lain terluka. Meskipun Felic tidak pernah tahu sebenarnya isi hati Liza seperti apa, tapi dia bisa memahaminya. Felic seorang wanita yang jika berada di posisi Liza akan merasakan sakit hati. Perlahan Felic melepas tangan Al, mata mereka saling memandang dan berkaca-kaca.

"Al, aku ini seorang wanita, meskipun Liza diam, mungkin hatinya menyimpan banyak beban. Apalagi dia tahu hubungan kita, akan sangat berdosa jika aku masih mempertahankan kamu dan membuatmu lupa akan tanggung jawabmu sebagai suami."

Al tertegun, dia tak habis pikir dengan apa yang Felic ucapkan. Semudah itukah dia berucap?

"Apa ucapanmu ini artinya hubungan kita harus berakhir?"

Bibir Felic bergetar, dia menganggukkan kepala berat.

"Maaf, aku mencintaimu, tapi kita gak bisa bersama, Al. Tolong mengertilah keadaan kita, Al."

Air mata Al sudah mengalir, hatinya terasa sangat sakit. Tak pernah dia merasa sesakit ini, baru dengan Felic dia merasa begini.

"Tapi, aku nggak mau kita jauh dan kembali seperti orang tak saling kenal."

THE WINGS OF LOVE (Komplit)Where stories live. Discover now