Part 11- Pacaran?

Mulai dari awal
                                    

"Ini.." Imran menyodorkannya pada Aisha.

"Ini apa?" Aisha terlihat kebingungan.

"Ini hasil penjualan panen nanas tadi," ucap Imran menjelaskan.

"Kenapa dikasiin ke aku?"

"Kamu kan istriku, jadi.."

Aisha mengerti, ia menyuruh Imran untuk kembali duduk disisi ranjang. "Bukannya aku nggak mau. Tapi kamu cukup ngasih aku uang belanja aja. Uang hasil panen itu kamu yang simpan buat modal kamu lagi kan. Kamu yang ngerti masalah perkebunan. Aku takut salah ngelolanya."

"Kamu kan istriku," ucap Imran menyela.

"Iya, makasih kamu udah mau terbuka masalah itu. Tapi kamu aja ya yang pegang. Untuk uang belanja terserah kamu mau ngasih harian atau bulanan. Jangan lupa uang shopping juga," Aisha bercanda sambil nyengir.

"Jadi kamu nggak mau megang uang ini?"

Aisha menggeleng, "kamu aja."

"Ya udah kalau begitu. Aku ngasih belanja bulanan aja ya." Imran memandangi Aisha lalu tersenyum. "Ya udah kita tidur."

Mereka berbaring melepaskan rasa lelah. Sesekali Aisha menengok ke arah Imran maupun sebaliknya. Mereka resmi berpacaran malam itu. Saling tersenyum malu-malu. Hingga mata mereka terpejam dengan sendirinya. Aisha tertidur lebih dulu. Imran memiringkan tubuhnya untuk melihat wajah Aisha. Tangannya terangkat ingin menyentuh pipi sang istri. Namun diurungkannya.

"Aisha.." panggilnya pelan. Imran kembali terlentang menatap langit kamar. "Tolong yakinkan aku.. Agar membuka hatiku untukmu. Akupun ingin bahagia bersamamu."

Perasaan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Itu hanya bisa dirasakan dengan hati. Karena itulah Imran ingin mempunyai perasaan karena Aisha.

***

Pagi harinya Aisha ke rumah orangtuanya di antar Imran. Aisha tidak mau sendirian di rumah itu. Teka-teki tutup panci yang jatuh masih belum terungkap juga. Semalam ada benda jatuh lagi di dapur Imran yang mendengarnya. Ia tidak memberitahu Aisha pasti ketakutan. Beres-beres rumah saja Aisha minta ditemani Imran baru mereka pergi. Dengan kondisi rumah yang sudah rapih.

"Aku ke ladang dulu ya," Imran pamit pada Aisha.

"Iya, kerjanya hati-hati." Aisha mencium tangan Imran.

"Oia, hari minggu ada pameran . Kamu mau ikut?" Imran mengajaknya. Biasanya ia ikut bazar menjual hasil ladangnya seperti buah jambu kristal dan jambu merah.

"Minggu?"

"Iya, kalau kamu.."

"Aku mau!" jawab Aisha cepat.

"Baiklah kalau begitu. Aku pergi." Imran menstarter motornya lalu pergi menjauh. Anggap saja itu kencan pertama mereka. Aisha memandangi punggung Imran sambil tersenyum. Setidaknya mereka berusaha untuk membuka hati dan mempertahankan rumah tangga mereka.

Aisha masuk ke dalam rumah. Ibu Wenny sedang mengirisi sayur wortel untuk membuat sayur sop. Aisha mencium tangannya. Ia membantu mengirisi kentang. Sang Mama menaruh curiga karena tidak biasanya Aisha seceria ini. Bibirnya selalu tersenyum. Ternyata menikah membuat putrinya bahagia.

"Kamu kelihatannya seneng banget, kenapa?" tanya Ibu Wenny seraya matanya menatap menggoda.

"Ah, Mama.. Aku emangnya kenapa? Biasa aja kok."

Ibu Wenny tertawa, "tapi Mama ngerasa beda aja. Apa Imran hebat?"

"Hebat apanya?" Aisha mulai sebal dengan pembahasan mereka menjurus ke hal pribadi.

Feeling  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang