Senja berumur 19 tahun itu pada akhirnya mengangguk, menyetujui tawaran itu. Di mana menjadi satu-satunya hal yang disesali Senja berumur 27 tahun.

Selang lima belas menit, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di halte tempat ia menunggu. Kaca mobil turun, menampilkan sosok pria tadi.

"Maaf lama," ujarnya saat Senja menghampiri. Bukannya menjawab, sang dara segera membuka pintu belakang mobil.

"Loh mbak, kok di belakang?" tanya pria-tanpa-nama itu. Kita sebut saja tanpa nama karena Senja sendiri enggan menanyakannya. "Segitu takutnya sama saya?" tanya sang adam kemudian dengan senyum simpul di wajahnya.

Jika posisinya tidak seperti ini, sudah pasti Senja menjerit kegirangan melihat pemandangan segar di hadapannya. Tapi dia harus profesional, setidaknya hingga sampai di rumah.

"Anterin saya ke lima halte sebelum halte ini," ucapnya tanpa menggubris pertanyaan lawan bicaranya. Mendengar kalimat yang terdengar seperti perintah itu hanya ditanggapi dengusan geli dari sang pria. Mobil pun segera melajut, meninggalkan halte dengan diiringi rintik hujan.

"Mba, hujan. Saya antar sampai rumah aja gimana?"

"Gausah." Senja jelas menolak. Hujan semakin deras di luar sana, mendadak jalanan juga menjadi macet. Gadis itu sedikit menghela napasnya, kalau ia sampai daritadi pasti tidak akan terjebak disini. Bersama pria asing yang tampan.

"Nama saya Mahendra. Bagas Mahendra tepatnya."

Suasana hening yang sejak beberapa menit lalu tercipta dipecahkan oleh perkenalan oleh sang pria-tanpa-nama itu.

Baiklah, namanya Mahendra. Terasa terlalu berwibawa. Sesaat Senja hanya terdiam, namun akhirnya bersuara, "Senja. Panggil aja begitu."

Mahendra tersenyum, tangannya terulur guna menyalakan radio mobilnya. Suara merdu seorang pria terdengar, membawakan sebuah lirik-lirik yang asing di telinga Senja.

"Ini lagu band saya. Lagu ciptaan saya sih." Mahendra kembali membuka pembicaraan, sepertinya tidak suka jika suasana mereka jadi sepi.

"Saya biasa main di Cafe Star, kamu tau 'kan?" Mahendra melirik ke belakang, tempat Senja duduk.

"Iya tau," jawabnya singkat.

"Kapan-kapan kamu boleh mampir," timpal Mahendra sambil mengulum senyumnya.

"Ngapain?" Senja mulai terpancing.

"Ngeliat saya lah." Senyumnya semakin lebar. Membuat sang puan harus memalingkan wajahnya menatap jalanan yang basah. Menyembunyikan semburat merah.

"Ini masih hujan, yakin mau diturunin di halte aja?" tanya Mahendra lagi. Halte dekat rumah Senja sudah terlihat, cukup ramai diisi oleh orang-orang yang mungkin berteduh.

"Turunin aja. Saya bawa payung kok," ujarnya yang bergegas mengambil payung kecil dari dalam tas.

Mahendra tak menjawab, pada akhirnya pemuda itu menepikan mobil di depan halte.

"Makasih," ucap Senja yang berancang-ancang membuka pintu.

"Kamu kapan-kapan dateng 'kan ke kafe Star? Saya tunggu." Mahendra berucap membuat Senja sempat bergeming dari tempatnya.

"Saya ga janji," timpal sang dara yang pada akhirnya keluar dari mobil tersebut dan membuka payungnya. Berjalan menuju rumahnya.

Ucapan hanya tinggal ucapan, pada akhirnya dengan rasa penasaran yang tinggi akan Mahendra dan penampilan bandnya membuat Senja mengunjungi Cafe Star. Melihat lima pemuda memainkan lagu dengan suara yang merdu. Namun matanya selalu tertuju pada sosok Mahendra-yang dikenal sebagai Bagas oleh teman-temannya.

"Gaya banget dia mau dipanggil Mahendranya sama kamu aja Ja." Begitu respon Dony ketika Senja pertama kali mampir dan menanyakan Mahendra.

"Ye, panggilan sayang tau," celetuk Mahendra ketika mendengar ledekan teman-temannya.

Keduanya pun mulai dekat, seiring berjalannya waktu baik Senja maupun Mahendra saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ucapan yang membuat mereka resmi bersama, tapi mereka tahu siapa yang mengisi tempat di hati masing-masing.

"Ja, Bagas udah nembak lo?" pertanyaan dari Satrio-teman Mahendra-terdengar ketika mereka berada di kafe.

"Belum, emang harus ya?" tanya Senja bingung.

"Ya ngga sih, aneh aja. Soalnya orang-orang pada ngiranya lo sama dia pacaran. Padahal 'kan dia ga ada nembak lo."

"Ya sayang 'kan ga harus nembak, Yo." Selalu itu yang Senja katakan pada teman-temannya. Pun dengan Mahendra.

"Gue sayang kok sama dia, dia juga tau gimana perasaan gue. Jadi ga perlu tembak-tembakan 'kan? Kaya bocah SMA aja hahaha." Begitu kata Mahendra pada teman-temannya.

Kebahagiaan keduanya cukup lama. Beberapa kali Senja menginap di tempat Mahendra. Tidak perlu bertanya apa yang dilakukan keduanya disana. Rumah yang kosong dan sepasang pemuda-pemudi yang saling mabuk cinta, apalagi yang dapat menghalangi keinginan keduanya untuk bercinta?Senja pikir kebahagiaannya itu tidak akan berakhir. Gadis itu lupa akan roda yangberputar.

Hari itu hujan lebat, keduanya terduduk di sebuah kafe lain dengan raut wajah yang berbeda dari biasanya. Tak ada senyum, tak ada sentuhan penuh kasih sayang, dan tak ada tatapan cinta yang terlihat.

"Ayo kita kabur Nja," Mahendra membuka suara setelah aksi diam mereka usai menyerahkan sebuah undangan pernikahan. Milik Mahendra dan perempuan yang tidak dikenali Senja.

"Kenapa?" sang puan mengangkat wajahnya, menatap benci kepada Mahendra. "Aku dijebak Nja, aku ga pernah nidurin perempuan lain selain kamu-"

"Jadi kamu cuma nidurin aku?" Senja memotong membuat Mahendra membungkam mulutnya. Salah bicara.

"Aku ga peduli, Ndra. Kamu nikahin dia."

"Tapi itu bukan anak aku, Nja!" Nada suara Mahendra meninggi. Kesal dengan sikap kekasihnya yang tidak mau mendengarkannya.

"Terserah itu anak kamu atau bukan, tapi dia butuh ayah," ucap sang dara, suaranya terdengar seperti menahan tangisnya.

"Aku ga bisa Nja, aku cintanya sama kamu." Mahendra mengusak rambutnya, putus asa membujuk wanita itu untuk kabur.

Terserah kemana saja, bagi Mahendra hidup bersama Senja adalah mimpinya. Ia tidak ingin menghabiskan waktu untuk tinggal bersama wanita yang menjebaknya dengan kepalsuan. Senja terdiam, air matanya menggenang di pelupuk mata.

Bagi Senja, bukan perkara soal cinta. Tapi tanggung jawab Mahendra sebagai laki-laki. Walaupun ia bersikukuh bahwa tidak pernah berhubungan dengan wanita lain.

"Nikahin dia, aku ga akan ganggu kamu lagi," Senja berdiri kemudian meninggalkan sang adam sendirian. Itu terakhir kalinya Senja melihat wajah Mahendra. Gadis itu tidak datang di pernikahan mantan kekasihnya, cinta pertamanya. Pun menginjakkan kaki di Cafe Star lagi.

Hingga hari ini, Senja turun di halte tempat mereka mengenal. Halte di dekat rumah Mahendra. Gadis itu terdiam beberapa saat, menatap jalanan yang pernah ia lewati bersama lelaki itu. Matanya menyusuri trotoar yang ramai sebelum akhirnya melangkah menuju jalanan rumah Mahendra. Senja merindu.

Tiga tahun berlalu tapi ia tetap merindu

Tatapannya kosong, pikirannya jauh melayang ke masa lalu. Sementara langkah kakinya tetap berjalan menyusuri trotoar tanpa menyadari sosok pria yang dirindukannya menatapnya dari arah berlawanan. Mahendra juga merindu. Namun, ia tak seberani itu untuk menghampiri sang mantan kekasih dan memeluk gadisnya saat mereka berpapasan tanpa disadari.

Gadisnya, apa Mahendra masih pantas menyebut Senja adalah gadisnya.

"Pa!" suara cempreng seorang anak kecil terdengar membuat Mahendra harus mengalihkan perhatiannya."Iya, ayo pulang," Mahendra tersenyum hangat ada anak itu, anaknya. Sekali lagi Mahendra menoleh, menatap punggung Senja yang perlahan menjauh. Berharap suatu hari nanti ia masih diterima oleh wanita itu.

Merindukan Senja | Park SungjinWhere stories live. Discover now