4. Ancaman

192 21 5
                                    

Manusia pertama yang kulihat adalah eomma-ku. Saat membuka mataku hari itu, seperti sudah terprogram, aku diwajibkan memanggilnya eomma.
"Memeluk orang yang menangis, itulah aturannya."
Peraturan pertama saat itu pun di berlakukan padanya. Aku mengingat jelas wajah sedih dan sendunya kala itu.
Tapi...wajah kali ini yang ku lihat, dia juga menunjukan perasaan yang sama. Setetes buliran air bening keluar dari matanya. Ku pikir eomma adalah satu-satunya yang hanya memerlukan pelukanku. Tapi saat itu, ketika aku melihatnya, aku berjalan menujunya. Merentangkan tanganku di sekitar tubuh mungilnya. Lalu aku mendekapnya dalam-dalam. Aku membiarkannya tenggelam dalam pelukanku.
"Jika kau menangis, aku harus memelukmu. Itulah aturannya."
Dan saat itulah untuk pertama kalinya, aku memeluk Kang So Bong. Orang lain selain ibuku. Dan juga, wajah itu, yang tersenyum penuh ketulusan padaku, terekam jelas di memoriku ketika dirinya berkata;
"Aku bangga padamu."
"Dirut Nam, mulai hari ini...aku akan melindungimu."
"Ani. Kau adalah temanku. Kau bukan benda. Mesin. Mainan ataupun robot. Nam Shin III adalah temanku."
"Aku memang tidak sekuat, sepintar dan secanggih dirimu. Tapi aku bisa melindungimu dengan cara ini. Aku bisa."

Yah, wanita itu, Kang So Bong, bagaimana mungkin dia bisa mengubahku? Aku di ciptakan dengan sangat sempurna. Bagaimana bisa aku berubah? Kenapa aku seperti ini?

"Mari kita berpacaran saja, Kang So Bong-ssi."

Kenapa aku bisa berkata seperti itu? Ada yang salah denganku. Kenapa aku?

"Ye?" Kang So Bong mengerjap kaget dengan yang barusan Nam Shin katakan. Untuk beberapa detik ke depan, ia lupa mengontrol dirinya. Detak jantungnya yang kian cepat, wajahnya yang memerah, bibirnya yang sedikit menganga dan juga matanya yang tak berkedip, menatap Nam Shin tak percaya. Untuk beberapa detik itu pula, Nam Shin terdiam juga. Ia pun juga tidak mengerti yang barusan di katakannya. Berkali-kali ia mencoba mencari error yang mungkin saja terjadi pada dirinya melalui mata robotnya. Tapi ia tidak menemukan kesalahan apapun.

"Wae, Kang So Bong?" Tanyanya kemudian setelah di rasa cukup diamnya.

"Ani...Kau meminta seseorang berpacaran denganmu seolah kau hanya menyuruhnya untuk berkedip. Kau saja bahkan tidak memenuhi kriteria untuk menjadi pacar seseorang. Berani-beraninya kau memintaku."

"Kriteria? Tapi bukankah aku memenuhi semua itu. Menurut standar manusia, wajahku ini sangat tampan. Aku sehat jasmani dan rohani. Aku kuat dan pintar. Bahkan melampaui kepintaran Google. Saat kau bertanya apapun, aku bisa menjawabnya. Aku juga-"

"Geumanhae." Kang So Bong menginterupsi. "Kau memang memiliki semua itu. Tapi dalam hal berpacaran, perasaanlah yang terpenting. Memangnya kau punya perasaan?" Cibirnya tak mau kalah. Nam Shin bungkam seolah mengaku kalah. Iya, dia tidak memilikinya.
"Ah dwaesseo! Aku sedang berbaik hati sekarang, jadi aku akan melupakan yang kau bilang barusan. Jibe gaja." Ia kemudian berjalan lebih dulu. Nam Shin yang masih belum terima akan kekalahannya, masih mematung ditempatnya. Ia seolah tidak ingin mengakhiri hari itu begitu saja.

"Perasaan? Aku juga ingin memiliki itu." Ia bergumam sendirian pada bayangan kosong di depannya.

"Ya! Kau tidak mau pulang?" Kang So Bong datang lagi memenuhi bayangan Nam Shin tadi. Nam Shin tersenyum senang.

"Jika aku tidak memiliki perasaan, adakah hal lain yang kau inginkan? Katakan saja. Aku akan mengabulkannya."

"Apa ini? Kau benar-benar pantang menyerah rupanya."

"Kang So Bong-ssi." Nam Shin kali ini terdengar serius. "Saat itu, ketika kau bilang bahwa kau tidak lagi melihatku sebagai robot melainkan sebagai temanmu, aku terdiam. Aku mencoba mencari kalimat yang sesuai untuk membalas ucapanmu, tapi aku tidak bisa menemukan apapun. Aku hanya diam dan tidak tahu harus apa? Apa itu yang dinamakan perasaan bahagia yang di alami oleh manusia?" Tanyanya memang nampak seserius yang Kang So Bong lihat. Matanya, tatapannya, raut wajahnya. Ia bahkan takut untuk menjawab. Alhasil, ia hanya diam. Sampai Nam Shin pun meneruskan lagi kata-katanya, Kang So Bong tetap diam mengingat jelas kala raut wajah yang jarang di lihatnya itu.
"Lalu saat itu di kolam renang, ketika kau menyuruhku berhenti bersikap seperti robot dan menjadi manusia. Saat itu aku merasa seperti di bohongi. Baru beberapa jam sebelumnya aku mendeteksi kejujuranmu. Lalu kau datang lagi seolah kejujuranmu yang sebelumnya hanya pura-pura. Apa itu yang dinamakan perasaan kecewa, marah, dan sedih yang di alami manusia?"

Are You Human Too? (New Version)Where stories live. Discover now