"Tunggu..." ucap Melia. "Kamu salah,, sekali pun dia menyukaiku dia tidak akan bisa mendapatkan ku." Mendengar ucapan Melia, dahi Ical berkerut. "Karena aku tidak menyukainnya, kamu tidak perlu bersusah payah membunuhnya." Mendengar ucapan Melia, membuat ku sedikit terluka˗˗tidak˗˗aku sangat terluka mendengar ucapannya. Aku tahu mungkin perasaanku terhadap Melia tidak akan terbalas, tapi dia menolakku sebelum aku menyatakan perasaanku padanya. Kini pikiranku mulai di penuhi dengan kata-kata yang Melia ucapkan "karena aku tidak menyukainya..." kata-kata itu terngiang di kepalaku, berulang-ulang kali.

"Benarkah!?" ujar Ical, bergantian menatapku lalu menatap Melia, memastikan kebenaran dari kata-kata Melia.

"Ukh!!" erangku.

"Tunggu!! Apa yang kamu lakukan!?"

"Kamu bilang kalau kamu tidak menyukainnya, berarti tidak masalahkan kalau dia terluka atau mati!" ujar Ical. Aku merasakan pisau yang menggores kulit leherku, leherku kini terasa sakit dan perih. Siapa bilang luka hati lebih sakit dari pada luka di kulit!? Goresan pisau yang di lakukan Ical ke kulit leherku bahkan membuatku tersadar dari lamunanku, membuatku tersadar kalau ini bukan saatnya untuk memikirkan tentang pernyataan cinta atau pun hal-hal seperti itu. Kami harus segera keluar dari tempat ini dan memanggil polisi untuk menangkap orang gila ini.

"Kamu pikir dengan membunuhku, kamu akan memiliki Melia!? Kamu bahkan tidak layak untuk berada di dekatnya..." ucapku. Dan ucapaku membuatnya kesal, dengan keras dia menamparku, sampai kursi yang aku duduki terguling.

"Kak Arka!!" seru Melia.

"Wah... kamu membuatku kesal, kamu tahu itu!!" Ical berjongkok di hadapanku dan kembali memainkan pisaunya di udara, lalu kembali mendarat di wajahku.

"Ical... Mas Ical, yang kamu inginkan aku kan. Biarkan Kak Arka dan si kembar pergi. Mas Ical, tidak perlu mendengarkan perkataan Kak Arka tadi. Mas Ical, yang lebih tahu tentangku kan, kau tahu kalau aku sangat membutuhkanmu." bujuk Melia.

"Kamu membutuhkanku!?" tanya Ical.

"Ya. Melia sangat membutuhkan Mas Ical."

Ical bangkit dan berjalan menuju Melia.

Mas Ical mendekatiku, membelai rambutku, menatapku dengan tatapan yang mengerikan, ya sebaiknya seperti ini. Dengan begini dia tidak akan melukai Kak Arka, aku terkejut saat Si Ical menggores leher Kak Arka dan darah segar keluar dari goresan tersebut, walau pun itu hanya goresan tipis tetap saja itu mengerikan. Aku mencoba mengalihkannya agar tidak mencoba melukai Kak Arka lagi, meski pun sebenarnya aku juga takut dengan Si Ical ini. Dia mengejutkanku dengan kecupan yang dia berikan di pucuk kepalaku. Tubuhku langsung membeku, aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba merasakan udara dingin menyengat ke kulitku.

"Singgirkan bibirmu dari dia, Brengsek!!" ucap Kak Arka dengan penuh marah.

"Mas, aku mohon lepaskan mereka. Mas, gak perlu melakukan sejauh ini..." aku berusaha membujuknya, tapi semuanya sia-sia. "Arrggh..." sebuah tamparan kembali mendarat di pipiku.

"Kau pikir aku bodoh!! Mau sampai kapan kamu membodohiku, Melia!!" teriak Ical.

"Tidak! Aku tidak berbohong, aku tidak membodohimu, Mas!!" ucapku dengan air mata mengalir ke pipiku.

"BRENGSEK!! Beraninya kamu menampar dia!!" teriak Kak Arka. Dia meronta berusaha melepaskan diri dari kursi dan ikatan yang mengingat tangan dan tubuhnya.

"Aku sudah bilang, akan membereskan laki-laki ini di hadapanmu dan akan ku lakukan saat ini juga!" Ical melangkah kembali mendekati Kak Arka yang masih dalam posisinya terbaring di lantai dengan kursi yang terikat dengannya.

MEMORIWhere stories live. Discover now