Datanglah kesana dan kamu pasti merindukannya.

Alamat yang tertulis di kertas yang terselip di buku tulisku yang ada di laci meja. Saat bel pulang berbunyi aku langsung keluar dan di depan sudah menunggu ojek langganan yang biasa mengantar atau menjemputku kalau Raka sedang berhalangan.

"Mas Ical..." panggilku ke ojek yang sudah menungguku di atas motor meticnya.

"Kenapa, Mas Raka gak bisa jemput, Eneng ya?" tanya Mas Ical selaku tukang ojeng pribadiku yang lain.

"Iya, dia sibuk." ucapku.

"Mau langsung pulang, Neng?"

"Gak, tolong antar aku ke alamat ini." Aku menunjukan alamat yang ku dapat, tapi tulisan dibawah alamat itu sudah ku robek lebih dulu.

"Siap, pake helmnya dulu, Neng, baru kita lets go." ucap Mas Ical.

Kami menyuri perjalanan yang cukup jauh, belum lagi macet dan panasnya matahari hari ini. Tapi itu tidak membuatku mundur, aku ingin tahu tempat seperti apa dan siap yang menyelipkan kertas itu di bukuku. Perjalanan kami membawa kami ketempat yang di penuhi dengan peti kemas.

"Neng, mau ngapai di tempat seperti ini?" tanya Mas Ical bingung.

"Gak ngapain-ngapain, maju lagi mas dan tolong masuk ke sana." tunjukku ke salah satu jalan yang bercabang.

Mas Ical membelokkan motornya sesuai perintahku, kini kami memasuki tempat yang sudah terbengkalai dengan peti kemas yang sudah berkarat di sana-sini.

"Stop!"

"Kenapa, Neng? Disini tempatnya, Neng?" tanya Mas Ical. "Kayanya di sana pernah terjadi sesuatu, masih ada bekas garis polisi, mau lihat ke sana, Neng!?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Mas Ical, tidak, aku tidak bisa menjawabnya karena tenggorokaanku tiba-tiba kering, badanku menggigil dan tanganku mencengram jaket Mas Ical.

"Neng Melia... kenapa? Kok pucat gitu?" tanya Mas Ical yang mulai khawatir saat menoleh ke arahku.

Aku berusaha membasahi tenggorokan ku dengan air liurku agar aku bisa mengucapkan sepatah kata ke Mas Ical.

"Mas, putar balik... aku... aku mau pulang..." ucapku gemetar.

"Oke, oke, kita putar balik."

Mas Ical memutar motornya dan meninggalkan tempat itu, sepanjang jalan aku hanya diam dan mencengkram pakaian Mas Ical dengan erat. Saat kami berada di jalan raya, aku memintanya untuk berhenti sebentar. Aku turun dari motor dan melepaskan helm yang ku kenakan, aku berlari ke tepi parit dan memuntahkan semua makan siangku. Mas Ical yang khawatir berlari ke arah warung kecil dan membelikanku air putih dan tisu. Dia menepuk-nepuk punggungku sambil memberiku tisu.

"Neng, mau saya antar ke dokter?" tanyanya yang hanya ku jawab dengan gelengan.

Setelah aku sedikit lega, Mas Ical mengantarku pulang. "Mas, tolong rahasiakan hari ini dari Raka dan Mama. Kalau perlu, Mas, lupain aja kalau saya pernah meminta Mas buat antar saya ke tempat tadi."

"Mm... baik, Neng. Tapi, Neng, yankin gak mau pergi ke dokter dulu? Muka, Neng masih pucat loh!?"

"Gak, Mas, aku baik-baik aja. Makasih udah di antarin pulang." ucapku sebelum masuk kedalam rumah.

"Eh, kenapa telat pulangnya?" tanya Raka saat melihatku baru pulang.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya berjalan menuju kamarku, saat berada di dalam kamar aku langsung mengunci pintu kamarku. Aku berjalan menuju sisi tempat tidur menatap keluar jendela kamar menatap taman yang ada di luar kamar, memeluk diriku sendiri, berusaha menenangkan diri. Buku-buku tanganku terasa dingin seperti es, badanku masih saja gemetar dan menggigil mengingat tempat yang baru saja aku datangi, air mataku jatuh membasahi pipi, aku berusaha meredam suara tangisku agar tidak terdengar Raka yang ada di luar.

MEMORITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang