PROLOG

30 2 1
                                    

September 2009
"Kliping"

SI PEMBACA adalah pensiunan gueu bahasa Inggris sekolah menengah yang ibunya masuk panti pada tahun 2001. Selama lima tahun berikutnya, setiap minggu dia berkendara tiga puluh menit dari Alachua ke Gainesville untuk mengunjungi sang ibu. Dalam cuaca yang menyenangkan mereka akan duduk di pengarangan berbatu hampar, yang terletak di antara dua bangunan hunian utama panti, tempat sipembaca duduk bersamaku sekarang. Air mancur  menggelegak di tengah pekarangan, di ketiga sisinya terdapat meja begaya bistro yang telah dicat berulang kali untuk menghentikan efek korosif iklim tropis Florida. Bahkan sekarangpun, pada pengunjung bulan september, udaranya lembab dan gerah, dan suhunya nyaris mendekati 32 derajat Celcius--padahal kami berada di tempat teduh.

Ibunya meninggal dunia pada tahun 2006, tetapi si pembaca tetap berkunjung setiap minggu sebagai relawan. Dia membacakan buku bagi penghuni panti yang tidak memiliki keluarga atau memiliki keluarga namun jarang. Kalaupun pernah, berkunjung. Kepala panti memberiku nama dan nomor telepon si pembaca. Tidak, demikian kata kepala panti, setahu saya yang menyebut dirinya William James Henry itu tidak pernah dekat dengan penghuni mana pun. Satu-satunya orang yang pernah mengunjunginya adalah relawan pembaca yang kini duduk di seberangku, menyeruput es teh dari gelas tinggi yang es nya sudag mencair. Mungkin dia bisa membantu, kata kepala panti kepadaku.

"Aku tak bisa membantu anda," kata si pembaca kepada ku sekarang.
"Dia tidak pernah mengatan apa-apa?" Tanyaku.
"Hanya nama dan tahun kelahirannya."
"1876."

Perempuan itu mengangguk. "Biasanya aku akan menggodanya, 'ah, William, tak mungkin kau lahir pada tahun itu.' William akan mengangguk--kemudian dia akan mengulanginya lagi."

"Apa yang dia lakukan ketika Anda membaca untuk nya?"
"Duduk melamun. Kadang-kadang tertidur."
"Menurut Anda, apakag dia tampak benar-benar mendengarkan?"
"Bukan itu intinya," kata si pembaca
"Kalau begitu apa intinya?"
"Pendampingan. Dia tak punya siapa-siapa. Hanya aku yang mengunjunginya setiap hari Selasa pukul dua siang."

Si pembaca menyeruput teh nya. Air mancur menggelegak. Air dalam cekungannya menetes dari salah satu ujung dan memercik ke batu. Air mancur itu melesak miring beberapa senti ke tanah yang lembek dan berpasir. Di seberang pekarangan, dua penghuni panti, lelaki dan perempuan, duduk di salah satu meja sambil berpegangan tangan, mengamati--atau kelihatan mengamati--permainan cahaya di air yang mengalir. Si pembaca mengedikan kepala ke arah mereka.

"Yah, William juga sempat ditemani olehnya."
"Ditemani? Siapa perempuan itu?"
"Pacarnya?"
"Bukan hanya pacar William. Sejak aku kemari, Lillian ounya sekitar dua belas pacar." Si pembaca terkekeh pela. "Lillian mengidap Alzheimer, perempuan malang. Dia beralih dari satu lelaki ke lelaki lain, menempel pada mereka seperti lem selama beberapa minggu, kemudian kehilangan minat dan 'memilih' lelaki lain. Para staf menyebutnya ' si Pematah Hati.' Beberapa penghuni tidak mau menerima ketika Lillian berpindah hati."

"Apa William seperti itu?"
Si pembaca menggeleng. "Sulit mengatakannya. William itu..." Dia mencari kata-kata yang tepat. "Yah, terkadang kupikir dia autistik. Bahwa penyakit yang dia idap sama sekali bukan demensia, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya seumur hidup."
"Dia tidak autistik."
Si pembaca berpaling dari Lillian dan pasangannya untuk mengamatiku, lalu mengangkat sebelah alis. "Oh?"
"Setelah dia meninggal dunia, mereka menemukan sejumlah buku tulis lama  yang tersembunyi di kolong tempat tidurnya. Semacam buku harian atau memoar yang pasti telah ditulisnya sebelum datang kemari."
Sungguh? Kalau begitu, Anda tahu lebih banyak dirinya daripada aku."
"Aku tau apa yang dia tulis tentang dirinya sendiri, tapi aku tidak tau apa-apa tentang dirinya." Jawabku hati-hati.
"Aku baru membaca tiga jurnal pertamanya, dan isinya... yah, lumayan mengada-ada." Tatapan perempuan itu membuatku tidak nyaman. Aku beringsut gelisah di kursi dan memandang keseberang pekarangan ke arah Lillian. "Mungkinkah Lillian mengingatnya?" tanyaku.
"Aku menyangsikannya."
"Ku kira sebaiknya aku menanyakannya," kataku tidak terlalu antusias.
"Mereka akan duduk bersama berjam-jam,"  kata si pembaca. "Tidak mengobrol. Hanya berpegangan tangan dan melamun menatap langit. Kelihatan nya memang manis, jika kita tidak memikirkan apa yang menanti di depan mereka."
"Yang menanti di depan mereka? Kukira maksud nya kematian.

THE CURSE OF THE WENDIGO (ON PROGRES)Where stories live. Discover now