28. Mengungkapkannya

Mulai dari awal
                                    

Selain itu Daniel juga sudah memilih lima titik yang menurutnya langka untuk dihampiri orang, dan sisanya lima titik lagi di tempat yang menurutnya paling sering dilewati banyak orang. Karena yang ia yakini, pelaku teror-teror semacam itu pasti hanya memiliki dua pilihan. Dia akan memilih tempat yang sepi untuk bersembunyi, atau jika tidak, dia akan memilih tempat yang sangat ramai untuk melakukan penyamaran. Itulah pelajaran yang dapat Daniel ambil dari film-film action yang sejauh ini ia tonton.

🍐

[note: play video di mulmed]

Nasya meraih krim kulit yang berada di atas meja riasnya. Krim yang sengaja dibelikan oleh papanya secara rutin untuk menyamarkan bekas memarnya. Dengan air mata yang terus jetuh di ujung kedua matanya, Nasya mengoleskan krim itu pada bekas memar-memar akibat pukulan papanya, tadi. Nasya menangis bukan karena kesakitan. Nasya menangis lantaran dia Nasya sudah sangat lelah dengan siklus yang terjadi dalam hidupnya. Dipukuli, diobati, lalu ketika sembuh, dipukuli lagi. Dan terkadang ia bahkan tidak tahu alasan papanya memukuli dirinya.

Entah apa yang salah dalam diri papanya. Yang Nasya tahu, semuanya berawal dari 'rasa sakit' yang diciptakan oleh takdir. Nasya tahu, papanya seperti ini karena dia tidak bisa menerima takdir 'kepergian' mamanya. Benar kata pepatah, orang jahat terlahir dari orang baik yang dikecewakan. Entah itu dikecewakan oleh takdir, atau orang di terdekatnya sendiri, yang jelas seseorang akan berubah menjadi iblis ketika dia terlalu kecewa. Termasuk papanya. Papanya yang dulu penyayang, kini berubah menjadi tidak berperasaan sedikit pun. Nasya menangis tanpa isak yang tak terdengar sama sekali.

Drt drt drt

Nasya merasakan ponselnya bergetar di dalam kantung kardigan yang ia kenakan. Tanpa perlu melihat nomor yang tertera di layar, Nasya sudah tahu itu pasti Adnan. Kali ini Nasya tidak memiliki alasan lagi untuk tidak menjawab panggilan itu. Tetapi Nasya tidak ingin Adnan tahu apa yang terjadi padanya saat ini. Seketika semuanya menjadi membingungkan bagi Nasya. Alhasil, Nasya memilih untuk mengabaikan saja getar ponselnya. Tidak mengangkatnya, tetapi tidak juga mematikannya.

🍐

Di depan pintu kamar Nasya, Adnan terus berharap-harap cemas menunggu Nasya yang tak kunjung menjawab panggilannya. Adnan ingin mengetuk, namun ia ragu.

"Nomor yang anda tuju, tidak menjawab. Silakan―"

Belum habis operator bicara, Adnan langsung mematikannya. Kemudian segera menekan ikon 'panggil' kembali. Tanpa bosan. Meskipun ini sudah terhitung kali ketiga. Adnan terus gelisah. Berdiri menghadap sempurna pintu kamar Nasya. Sebelah tangannya masih menempelkan layar ponsel Daniel pada daun telinganya.

"Nomor yang anda tuju―"

Adnan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, berulang-ulang. Sampai dia tidak tahu ini sudah kali keberapa. Adnan tidak tahu, kenapa gadis itu selalu paling bisa membuatnya cemas seperti ini.

"Nomor yang an―"

Dengan segala jenis perasaan yang membaur menjadi satu, kesal, gelisah, cemas yang tak tertakar lagi, Adnan mematikan panggilannya.

Tok tok tok

Karena kesabarannya sudah menipis, Adnan memutuskan untuk mengetuk pintu yang sejak tadi berhadapan dengannya. Hening.

Tok tok tok

Adnan mengetuk lagi. Kali ini lebih kencang. Membuat seseorang di dalamnya panik bukan main. Di hadapan cermin riasnya, Nasya terus memerhatikan sebelah pipinya. Pantas saja sangat perih, bekasnya pun sangat mencolok, sampai-sampai tidak bisa disamarkan oleh bedak atau krim yang biasa ia pakai.

Emerald Eyes 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang