Orkanois dalam pikirannya, "Perintah dari Raja Orba adalah menangkap Mehdiard hidup-hidup. Sekalipun Raja Orba menyuruhku untuk membunuhnya, aku tidak akan membunuhnya. Karena ia bisa jadi harapan terakhir yang aku punya."

Begitu tak terasa waktu latihan Mar untuk menguasai dimensi Teeporth. Sang mentari pun muncul, memulai kembali pekerjaannya sebagai penerang setengah dari bagian Bumi. Hutan yang tadinya sepi, mulai terdengar suara kicauan burung saling menyahut. Butiran embun mulai terlihat jelas, setelah disinari cahaya hangat berasal dari Timur.

"Kau tahu Mar, sinar Matahari di planetmu, adalah hal yang paling aku sukai. Membuat energiku selalu penuh. Hangatnya mentari di planetku tidak pernah sampai hingga tanah. Membuat planetku kedinginan dan membeku," ujar Orkanois. Sementara Mar hanya menyimak puisi yang terlontar darinya.

"Sebaiknya aku segera pulang, aku yakin Ibu pasti sedang menangis dan kebingungan," ujarnya dalam hati.

Mar membuka portal menuju depan rumahnya, sedangkan Orkanois tidak mengikutinya, ia bersembunyi di dimensi teeporth. Ketika ia melewati portal dan hendak membuka pintu, ia mendengar suara ibunya sedang bercerita mengenai masa kecilnya kepada Yuzar. Cukup lama, hingga membuat Mar hanya berdiam diri sambil menyender ke tembok, sampai ibunya selesai bercerita.

Setelah itu, Mar mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu dan spontan Ibu memeluk Mar dengan tangisan.

"Hey, Zar! Lihat, seorang ibu emang pikirannya selalu disimpan di hati. Ngilang sebentar aja, pas ketemu langsung meluk gini," ujar Mar kepada Yuzar yang terbangun dari duduknya.

"Tenang, Bu! Semuanya baik-baik aja," ucap Mar sambil melepas pelukan dari ibunya.

Ibu membalas, "lihat Yuzar! Anak laki-laki emang nggak pinter bohong dan perkataannya nggak bisa dipercaya. Masa iya baik-baik aja, tapi baju belakang robek semua."

Yuzar hanya bisa tersenyum haru, melihat betapa rukunnya keluarga kecil ini, bisa melepas ungkapan sayang dari mulut mereka tanpa hambatan.

"Oh, ya Yuzar, kamu ada perlu apa sama Mar? Bukannya tadi nyariin?" tanya ibu.

"Hum, mau nanyain tugas sekolah. Tapi, mungkin Mar kecapean. Besok Senin aja ya Mar, di sekolah. Istirahat yang banyak! Kasihan ke ibumu."

"Ya, oke."

<><><>

Pada siang hari, di saat matahari menampakkan performa tepanasnya, Mar menceritakan alasannya pergi dari rumah dengan sedikit kebohongan. Berawal dari rasa sakit di punggung yang begitu dahsyat, dan hal mengejutkan terjadi ketika sayap kecil tumbuh dari punggungnya. Tentunya Mar tidak ingin ibunya terkejut atas penampilannya itu, lalu ia pun pergi meninggalkan rumah ke suatu tempat yang jauh dari keramaian.

Mar berani pulang ke rumah, setelah merasa bisa mengendalikan wujud dari sayap putihnya. Ia juga menunjukkan sayapnya di hadapan Ibu. 'Heran' bukanlah reaksi yang harus ditampilkan oleh Ibu, karena ia sudah terbiasa dengan 'keunikan' pada diri Mar yang sulit dijelaskan oleh akal sehat. Cerita yang dibawakannya ini, sama sekali tidak menyinggung soal Orkanois.

"Keren! Maksud Ibu, anak Ibu kok keren gini, ya. Mara juga bisa nyembunyiin sayapnya gitu? Tambah keren aja," reaksi Ibu.

Melihat semua ini, ibu pun tergerak membawa pakaian milik Mar ke tempat jahit dan mengukur diameter pangkal sayapnya. Lalu ia melubangi setiap baju milik Mar. Namun, robekannya bisa di tutup kembali, karena menggunakan velcro. Ibu mengerjakan semua itu hingga larut malam.

"Nah, kalau kayak gini, baju-baju Mara nggak bakal robek lagi," ujar Ibu terlihat senang, layaknya seorang ibu yang baru saja memberikan mainan untuk anaknya.

Satu hal yang dipikirkan oleh Mar saat itu. "Apa ibuku nggak sadar, kalau ia sedang membesarkan seorang monster?"

Keesokan harinya pada hari Senin, di saat murid-murid malas merangkai kata keluhan kala harus kembali terjun ke sekolah, ada pengurus osis masuk ke setiap kelas untuk meminta sumbangan.

"Dikabarkan telah terjadi kecelakaan menimpa kakak kelas kita, yang bernama Jona dan Yuda dari kelas 12-A, kami meminta keikhlasannya untuk menyumbang, membantu meringankan pengobatan kakak kelas kita yang sekarang sedang koma dan dirawat di rumah sakit," ujar ketua pengurus osis.

"Hah? Sumbangan lagi? Waktu itu nyumbang, sekarang nyumbang lagi," protes salah seorang siswa di kelas.

"Hey! Kamu jangan ngomong gitu! Ini musibah! Coba kamu mikir kalau kamu di posisi kakak kelas kamu yang kecelakaan! Apa bisa kamu ngomong kayak gitu?" sanggah ibu guru yang sedang mengajar pelajaran PKN di jam itu.

"Ah musibah bagi kakak kelas kayak gitu mah udah cocok, Bu. Saya tahu gimana, tuh Joni dkk, mereka anak brutal. Paling juga kecelakaannya karena mereka kebut-kebutan di jalan. Atau nggak kalah berantem, soalnya mereka suka nyari-nyari masalah," balas siswa tersebut.

"Walau begitu, seorang pelajar nggak pantas ngomong kayak gitu atas musibah orang lain!" bentak ibu guru.

"Ya deh, Bu! Iya," balasnya malas.

"Maaf, ya, Bu, boleh saya nambahin penyebab yang sebenarnya," ujar ketua osis.

"Ya bagus. Jelasin biar murid-murid di sini belajar bagaimana untuk respect."

"Baik Bu! Jadi gini, menurut pengakuan kak Rama, teman dari kak Jona dan kak Yuda, mereka mengalami tabrak lari oleh mobil yang tidak bertanggung jawab. Kak Rama langsung membawa mereka ke rumah sakit," jelas ketua Osis.

"Tuh dengerin! Ayok, lanjut minta sumbangannya!" titah bu guru. "Oh, iya, kamu tadi yang ngomong nggak sopan, nanti seusai pelajaran, ikut ke ruang BP !"

"Lah?!? Kok, gitu, Bu?"

Dari kegaduhan di kelas yang terjadi kala itu, ada empat siswa yang terdiam, karena sepertinya mengetahui fakta sebenarnya, yakni Yuzarsif, Rukma, Fia, dan Mar.

Rukma sedari tadi hanya melirik-lirik Mar yang bergeming dengan tenang di kursi paling belakang barisan kedua.

Soal kedatangan Yuzar ke rumah Mar, sebenarnya bukan untuk menanyakan tugas sekolah, melainkan untuk meluruskan gosip yang beredar mengenai dua kakak kelas yang dikabarkan masuk rumah sakit karena mengalami luka parah di sekujur tubuh. Sejak kemarin, ia memang sudah mencurigai bahwa Mar berulah lagi.

Sedangkan Fia, ia tahu bahwa kabar yang dibawakan oleh kakak kelas itu palsu. Ketika ia keluar dari kelas sore itu, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa kakak-kakak kelasnya itu sudah babak belur, seperti diserang oleh hewan buas. Namun, ia memilih untuk diam dan pergi, karena merasa itu bukan urusannya.

Tak lama setelah pengurus osis keluar dari ruangan, Mar tersenyum.

--------<>---------

*Selama Mar memegang pedang slaz walau sekecil apa pun, hingga pedang itu muat di saku, ia bisa menggunakan kekuatan Teeporth kapan dan di mana pun ia mau. Seperti untuk mengendalikan wujud dari sayapnya pun harus menggunakan Teeporth.

Velcro : Yang biasa dipakai untuk perekat kain.

ORKANOIS (END)Where stories live. Discover now