"Misa, kalau mau pulang silahkan saja."

"Ah, iya pak."

"Kamu tidak perlu menunggu yang lain."

"Baik pak. Kalau begitu saya pulang."

Atan kembali ke kubikelnya yang memang didesain menghadap para juniornya. Jadi ia dapat dengan jelas memantau siapa saja. Misa mengemasi barang-barangnya untuk segera pulang.

***

"Pengen resign!" keluh Misa sambil melemparkan tasnya ke sofa ruang tamu. April yang sedang mencicipi kue buatannya sampai tersendak. April sangat hobi membuat kue. Siapapun pasti mengira ia sudah salah jurusan. Kenapa dia tak mengambil jurusan tata boga saja. Waktu senggang yang banyak membuatnya sibuk di dapur.

"What's going on Mi? Kalau lo bilang gak betah kerja karena digosipin atau apa. Plis, itu alasan yang engga banget." April meletakkan segelas air putih dihadapan Misa. Misa langsung meneguknya secara bar bar.

"Gue sekantor sama Pak Atan. Not only that, gue setim sama dia."

April terbelalak. Informasi itu lebih buruk daripada kabar memperpanjang masa kuliah baginya. Terlebih Misa sangat membenci Atan. Apa jadinya hidup berdampingan dengan orang yang dibenci? Mungkin akan jadi perang atau malah jadi cinta.

"Lo masih hidup kan Pril?"

"Hah? Iya. Gue cuma kaget aja. Kok bisa sih?"

"Dunno."

"Tapi gimana dia disana? Masih labil atau gimana?"

"He wearing a mask. Ramah banget. Sampai menawarkan bantuan segala ke gua." Misa mempraktekkan gaya Atan menawarkan bantuan padanya. Bagaimana wajah Atan yang sendu dan tenang. Tak seperti dulu, labil dan berapi-api.

"Kalau gitu sih gak masalah. Lo tinggal bersikap biasa aja sama dia."

"Pril, itu sulit."

"Jangan bilang sulit sebelum mencoba. Lagian kalau lo resign baru satu hari apa yang akan dibilang om sama tante. Mereka udah senang saat tahu lo kerja. Nyari kerja lagi butuh waktu Mi."

"Itu yang gue pikirin. Tapi gue benci banget sama dia."

"Itu tugas lo buat engga membencinya. Lagian Tuhan nyuruh agar tidak membenci sesama kan."

"Apa yang disuruh Tuhan itu sulit."

"Tapi bukan berarti gak mungkin."

Misa diam. Dia tak bisa membantah bahwa apa yang dikatakan April itu benar. Ia segera mandi dan mencoba melupakan nama Atan dari benaknya. Setiap ia mengingat Atan, ia kembali pada keadaan saat itu. Saat dimana Misa menangis dan menelepon mamanya.

"Ma, Misa gak lulus. Misa harus ngulang mata kuliah."

Misa terisak-isak. Mamanya tentu saja pengertian dan menyuruhnya untuk tidak menangis. Menyemangatinya. Tapi itu adalah kegagalan pertamanya. Kegagalan yang membuatnya merasa bahwa ia tidak berguna. Disekolahkan jauh-jauh tetapi malah menjadi beban.

"Makan dulu Mi!" teriak April saat melihat Misa baru selesai mandi. Misa segera berpakaian dan duduk dimeja makan. Makan malam itu tak kalah enak daripada sarapan pagi. Ada sphagetti carbonara dan puding untuk cuci mulut.

"Pril, gimana seminarnya?"

"Gue udah siap. Tapi harus ngumpulin mahasiswa minimal 20 orang biar bisa langsung seminar. Itu sih yang sulit."

"Lo ajak adik kelas yang sekelas dulu aja Pril."

"Iya. Maunya gitu Mi. Gue lagi nyari kontaknya. Semoga aja mereka berniat membantu gue."

"Jangan sok drama gitu ah. Kalau mereka gak mau laporin ke gue. Gue siap jitakin satu-satu."

"Haha. Yang ada lo dijitak balik."

Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan spageti buatan April. Rasanya yang lezat itu sulit untuk dilewatkan. April berencana membuka restoran jika sudah lulus. Walau kedua orangtuanya belum memberi izin. Orangtuanya adalah satu dari ribuan orangtua yang bangga jika anaknya kerja dikantoran.

"Tentang Pak Atan jangan kasih tahu Airin dan Rumi dulu ya. Mereka pasti bakal histeris dan menganggap bahwa lo itu beruntung."

"Ya. Gue juga gak berniat buat kasih tahu siapapun kalau gue kerja di Tokokeren."


Atan & Misa
Two different personality.

Jangan lupa : Vote, comment

My Support SystemWhere stories live. Discover now