24. Ancaman

Mulai dari awal
                                    

"Aku baik-baik aja, kok. Kamu balik aja ke kamar kamu. Nanti kalau ada yang tau, kamu pasti dihukum lagi."

Bukan dihukum lagi, Sya. Tapi dikeluarin. Batin Adnan membenarkan pernyataan Nasya.

"Yaudah, kalau lo baik-baik aja. Gue mau kasih ini ke lo." Sejenak Adnan merogoh saku celana tidurnya, mengeluarkan ponselnya yang kemudian ia sodorkan pada Nasya.

Nasya mengambil benda itu dengan gerakan pelan. "Ini apa?"

Pertanyaan gadis itu seketika saja membuat Adnan mengernyit menatap Nasya yang tak lama menatapnya balik, setelah memerhatikan ponsel berian Adnan.

"Lo gak tau itu apa? Lo gak pernah liat benda ini di TV?"

Nasya melihat lagi ponsel itu sesaat. Lalu matanya menatap Adnan kembali seraya menggelengkan kepala. "Di kamarku gak ada TV."

Oiya, Adnan baru ingat, kalau saat ia masuk ke kamar Nasya kemarin, dia memang sama sekali tidak menemukan benda elektronik di dalamnya. Jangankan televisi atau ponsel, bahkan radio pun tidak ada.

"Terus lo ngapain aja di kamar kalau gak nonton TV, gak punya ponsel?"

"Kalau di kamar, aku biasanya belajar atau baca buku. Kalau gak, aku ke ruang musik. Main piano."

"Nah, yang kayak gini biasanya banyak nih di buku-buku teknologi!" Seketika Adnan berseru semangat.

"Buku teknologi buku apa? Guru private aku gak pernah kasih aku buku itu. Aku biasanya belajar sejarah, matematika, sama belajar bahasa-bahasa asing," tutur Nasya sambil mengingat-ngingat.

"Lo bener-bener gak tau?" Adnan kian heran karenanya.

Wajar kalau Adnan heran bukan main. Bayangkan saja, di tahun secanggih ini masih ada saja orang yang tidak tahu ponsel itu apa. Apalagi orang itu merupakan anak dari pemilik asrama, yang sudah bisa dipastikan hartanya tidak sedikit. Ini semua sungguh tidak bisa lagi diukur dengan logika. Adnan tidak habis pikir, bisa-bisanya pemilik asrama itu mengekang anaknya sebegini kejam. Sampai-sampai ponsel saja Nasya tidak tahu.

Nasya menggeleng lagi, sembari memerhatikan benda yang berada di tangannya itu.

"Ini ponsel. Lo bisa menghubungi orang dengan jarak yang sejauh mungkin. Bahkan lo bisa menghubungi mereka yang berada di negara luar, asalkan orang itu punya ponsel juga dan lo tau nomor ponselnya."

Nasya memanggut-manggutkan kepalanya. Pertanda ia mengerti dengan penjelasan Adnan. Sebenarnya Nasya jenius. Sangat jenius. Gadis itu bisa langsung mengerti segala sesuatu hanya dengan sekali diajarkan. Ia juga bisa langsung menghafal segala sesuatu hanya dengan sekali dengar atau sekali baca. Namun sayangnya, sikap papanya yang selalu membatasi dirinya untuk mengetahui banyak hal membuatnya jadi buta teknologi sekarang. Meskipun dia sendiri, sebagai anaknya, tidak tahu apa yang membuat papanya bersikap se-protective itu padanya.

"Tapi, kenapa kamu kasih ini ke aku? Ini punya siapa?"

"Ini punya gue, gue kasih ke lo. Jadi nanti gue gampang ngehubungin lo."

"Emang boleh bawa ini ke asrama?"

"Boleh kalau gak ketauan," sahut Adnan enteng. Membuat Nasya tertawa kecil. Kemudian perhatiannya kembali terfokus pada benda canggih yang ia pegang sekarang.

"Cara pakainya gimana?"

"Cara pakainya..." Adnan diam sejenak. Berpikir, bagaimana ia harus mengajarkan gadis itu cara penggunaannya. "Ah!" Adnan menepuk jidatnya kasar. Seharusnya dia membawa ponsel lagi, agar bisa menghubungi ponselnya. Dengan begitu ia jadi gampang mengajarkan Nasya cara menjawab panggilan dari luar. "Gini-gini, pokoknya, kalau benda ini getar, pasti bakal nongol dua ikon bulet warna hijau sama merah. Nah, lo tinggal geser ke tengah ikon yang warnanya hijau."

Nasya mengangguk paham. "Tapi, kamu mau ngehubungin aku pakai apa kalau ponsel kamu aja sama aku?"

"Gue mah gampang, bisa pinjem temen nanti," ucap Adnan menggampangkan. "Oiya, jangan sampai ketahuan sama bokap lo kalau lo pegang ponsel gue."

"Iya."

"Yaudah, gue balik ke kamar, ya? Lo beneran udah ngerti kan caranya?"

Lagi-lagi Nasya hanya memberi anggukan sebagai jawaban.

"Ok, gue balik. Inget, ya, gesernya yang warna hijau. Jangan merah," pesan Adnan sekali lagi, supaya Nasya tidak lupa. Padahal, dibanding dirinya, daya ingat Nasya jauh lebih kuat dibanding daya ingatnya sendiri. Dianya saja yang tidak tahu.

"Iyaa...." Nasya menyahut sembari tersenyum tipis pada Adnan. Membuat Adnan meleleh seketika.

Adnan sengaja meminjamkan ponselnya pada Nasya, agar dia bisa memastikan keadaan gadis itu 24/7 penuh hanya dengan cara mengirimi whatsapp ke nomor ponselnya. Kalau dia sendiri sih gampang, tinggal pinjam saja ponsel salah satu dari teman sekamarnya. Adnan yakin, pasti mereka berempat juga diam-diam menyembunyikan ponsel, meskipun sebetulnya tidak diperbolehkan bagi siswa Lawden Hall untuk memegang ponsel selain Freedays.

🍐

[esok paginya]

BERHENTI, ATAU KAU DALAM BAHAYA!

Pagi itu, Madam Loly tersenyum saat membaca sebuah kalimat yang ditulis dengan pilok merah yang terdapat pada dinding ruangannya. Untuk pertama kalinya dia sudah tidak kaget lagi ketika teror itu ditujukan padanya.

===

To be continue...

Bonus foto Adnan😊

Bonus foto Adnan😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Emerald Eyes 1&2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang