1. Menapak Realita

133 8 18
                                    

"Dek, sudah siap?" Sabiya bertanya pada Sabit yang sedang memandangi rumah yang selama ini telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya sedari kecil.

Sabit menghembuskan napas yang dihelanya. Ia tersenyum pada Sabiya, juga meyakinkan dirinya—menghampiri Sabiya yang telah ada di sisi mobil yang akan membawa mereka ketempat yang akan dituju. Meninggalkan rumah dan kota ini.

Ada keluarga yang masih mau menjadi tempatnya untuk pulang dan berkeluh kesah. Meski tak dipungkiri, di kota ini pun masih ada keluarga tante yang berkenan merawat mereka berdua. Tapi mereka butuh suasana baru. Toh, selayaknya buku, tak mungkin dipaksa dibubuhi tulisan lagi jika sudah habis penuh lembarannya. Jika pun ada lembar kosong yang teracak, ia paksa untuk dibubuhi tulisan, hanya akan menjadikan tulisan itu sendiri semrawut dan merusak tatanan. Jadi biarlah mereka membuka lembar baru.

Mereka tak mungkin tinggal di sini untuk sementara waktu. Apalagi untuk Sabit ... dia yang selalu dirundung rasa bersalah juga terbelenggu kenangan yang menahannya untuk lepas dan bebas. Ia ingin bahagia, tidak ingin terus berpura-pura. Membohongi orang-orang disekelilingnya.

Ia ingin kembali tertawa lepas. Ia ingin duka ini menjadi sebuah pelajaran berarti. Bukan penyiksaan hati. Karena jika ia tetap di sini, itu yang didapati.

Benar, yang pergi biarlah pergi. Tapi untuk bersabar? Sabit masih butuh waktu untuk bisa berdamai dengannya. Sekali pun sabar itu tidak ada batasnya.

Untuk sekali lagi, ia menatap rumah yang menyimpan banyak kenangan itu.

Masih terekam jelas oleh ingatannya saat ayah pulang kantor dan ia berlari kepelukan ayah dengan piala ditangannya. Mereka tertawa begitu bahagia disaksikan bi Surti—pengurus rumah—yang tersenyum melihat pemandangan tersebut.

Sekali lagi, Sabit melihat rumah yang akan ia tinggalkan. Berat, tapi ...

Selamat tinggal kenangan, sejauh apapun kakiku melangkah aku takan melupakanmu. Suatu saat aku berjanji akan kembali. Merangkai cerita-cerita baru, mengakalkan cita-cita yang saat ini telah hancur bersama kepergiannya bersama sang waktu.

Pagi itu, kala matahari masih malu-malu menunjukan eksistensinya, Sabit dan Sabiya meninggalkan rumah mereka.

***

Setelah berjam-jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di kota yang mendapat julukan kota kembang. Kota tempat kelahiran sang bunda. Kota yang akan mereka singgahi untuk waktu yang tak tahu berapa lama.

Mata Sabit yang sedari tadi melihat-lihat pemandangan yang dilewati perlahan jatuh.

"Suatu saat, ayah akan mengajakmu ke Bandung. Kita bertemu uwa dan keluarga. Mereka pasti senang. Nanti di sana kita bisa sambil main kemanapun Dedek mau."

"Benar, Yah?" Sabit terperangah. Suaranya jelas bahagia.

Selama ini ia tak pernah ke Bandung. Paling uwa yang mengunjunginya ke Jakarta. Ayah sangat sibuk.

"Hm." Ayah mengangguk, meyakinkan.

"Sabit mau nonton bola live Yah, kay orang-orang."

"Apapun."

Sabit tersenyum. Tidak jadi marah.

"Sabit sayaaang, Ayah."

Sabit mengesat air mata yang perlahan mengalir dipipinya. Teringat suatu malam bersama sang ayah.

Malam itu ayah janji untuk menonton bola bersama. Sabit sudah menunggu. Tapi ayah tidak kunjung datang. Ayah sibuk dengan pekerjaannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SabitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang