Fragmen 23

89 12 1
                                    

Sejarah dimulai. Kisah ini diawali dengan seorang gadis dan pemuda. Mereka berdua—Sindia dan Parmoun. Nenek dan kakekku 300 tahun yang lalu.

Hutan hitam, mereka menyebutnya seperti itu karena di kala senja musim panas datang, hutan itu menjadi sepekat arang, kelam dan penuh kegelapan. Dan itu terjadi hanya di saat musim panas tiba. Selain di musim itu, Hutan hitam adalah hutan hujan tropis yang hijau nan indah.

Awalnya penduduk desa tak mengetahui kenapa hutan berubah warna. Itu semua terjadi bersamaan dengan munculnya seorang lelaki misterius berperawakan Cina disertai dengan menghilangnya anak-anak kecil di desa.

Lelaki itu mengenakan pakaian tradisional Cina dan warga desa—warga pribumi yang tak pernah mengetahui asal-usulnya pun—mendadak penasaran dengan apa yang dilakukannya di gunung Transfransssischo—gunung sejarah tempat kejadian perkara sang musisi berambut gimbal, berkulit hitam asal Perancis yang bernama Khyatie Transfransssicho tewas bunuh diri seminggu setelah para penjelajah dari dunia barat datang untuk menjelajahi seluruh hutan hitam.

Hutan hitam memang diselimuti misteri yang tak terpecahkan. Hutan hitam sungguhlah luas dan yang baru kuketahui hanyalah jalur barat dan timur sungai Kalem yang menuju gunung tersebut. Wilayah selebihnya tak pernah ada yang tahu dan hingga detik ini pun belum ada satu manusia yang berani melakukan eksplorasi di luar batas jalur tersebut.

Semua itu memiliki banyak alasan misterius. Bukan hanya hewan buas yang masih bersemayam dengan nyaman, tapi juga segala macam makhluk gaib dan area-area janggal yang tak masuk akal memenuhi seantero hutan tersebut.

Sindia dan Parmoun yang merasakan adanya kecurigaan mulai menyelidiki lelaki misterius itu. Mereka yang kala itu masih remaja berusia 15 tahun menelusuri hutan hitam bersama beberapa warga desa lainnya. Mereka pergi menuju gunung Transfransssicho dengan mengikuti jalur aman dalam peta yang dibuat para penjelajah bertahun-tahun sebelumnya.

Senja tiba saat mereka semua mendapati bangunan keramat yang mereka sebut Portal 4 Kristal. Bangunan itu berbentuk kotak berukuran sekitar 3x3 meter dan di dalamnya hanya terdapat sebuah meja batu dengan cermin besar yang terpatri di dinding.

Sindia dan Parmoun menemukan 4 batu Kristal dalam ceruk di atas meja batu. Mentari senja masuk ke dalam ruangan lewat jendela tanpa kaca dan menerangi satu per satu Kristal yang ada.

Cahaya itu masuk ke dalam Kristal merah, lalu memantul menembus bola Kristal jingga, kemudian hijau, dan terakhir Kristal biru, membentuk gambar angka 4. Dari dalam bola Kristal biru itulah cahaya terpantul ke dalam cermin besar di dinding ruangan.

Dan sesuatu terjadi.

Kala itu adalah musim panas terakhir, tepat seminggu setelah kedatangan lelaki misterius tersebut.

Sindia dan Parmoun beserta yang lainnya melihat apa yang mereka belum pernah lihat sebelumnya—mitos itu. Mereka yang sebelumnya tak pernah memercayai perkataan anak-anak dan para penjelajah barat akhirnya melihat dengan mata kepala sendiri sosok yang mereka sebut sebagai iblis penculik anak-anak.

Mereka tampak seperti malaikat pencabut nyawa. Berselimut gaun compang-camping dengan tudung hitam legam. Wujudnya sama dengan sosok-sosok penggambaran iblis di seluruh dunia. Tapi, ada dua hal yang membuat iblis itu tampak berbeda, yaitu: mereka memiliki mata sebiru intan dan gigi putih mengilat di antara latar yang semuanya hitam kelam.

Mereka mendapati makhluk itu terperangkap dalam cermin.

Meski menakutkan tapi dia tak tampak berbahaya. Makhluk itu seperti sosok yang kesepian.

Dia menyuruh Sindia untuk mendekatinya. Itu diketahuinya saat makhluk itu menatapnya dan tangannya melambai-lambai memanggilnya.

Sindia dan Parmoun yang penasaran akhirnya mendekati cermin tersebut.

Mereka saling bertatapan.

"Siapa kau? Dari mana kau berasal?" tanya Parmoun.

"Bacalah," ucap makhluk itu menunjukkan tangannya yang hitam kering, hanya tulang dengan kuku-kuku panjang ke bingkai cermin di kiri dan kanannya.

"Apa kau makhluk jahat? Apa kau iblis?" heran Sindia.

"Bacalah," ucap makhluk itu sekali lagi.

"Aku tidak mengerti. Tulisan apa ini? kenapa kau memintaku membacanya?"

Tiba-tiba cermin bergetar hebat.

Sosok hitam itu tampak kacau seperti saluran televisi rusak. Lalu, dia berubah wujud menjadi anak kecil. Wajah anak kecil yang diingatnya telah hilang beberapa tahun yang lalu.

"Ren!" sergah Sindia.

Dia ingat, anak lelaki itu adalah adiknya.

"Kakak, keluarkan aku," pinta anak itu. Raut wajahnya datar. Tatapan matanya kosong.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Parmoun, bagaimana kita mengeluarkannya?!"

Sindia tampak panik, dia ingin mengeluarkan adiknya dari dalam cermin itu.

"Tulisan ini, jika kita baca, dia bisa keluar," ucap Parmoun meraba tulisan aneh di bingkai emas cermin tersebut. "Apa kau ingat tulisan ini?"

Sindia menggeleng tetapi mencoba mengingat-ingat setiap huruf-huruf janggal yang meliuk-liuk itu.

"Aku pernah melihat tulisan ini sebelumnya di buku peninggalan para penjelajah, di batang pohon, di bebatuan yang ada di anak sungai kedua," kata Parmoun.

"Tulisan apa itu?"

"Aku tidak tahu. Tapi aku pernah mendengar anak-anak membaca tulisan itu. Kau tidak ingat, Rendi berbicara aneh beberapa hari sebelum dia menghilang waktu itu."

"Apa kau bisa membacanya?" tanya Sindia berharap.

"Mungkin sedikit, tapi aku tidak yakin ini hal yang bagus," jawab parmoun.

"Bacalah! Aku tak peduli. Aku ingin adikku keluar dari cermin ini!" sergah Sindia.

Parmoun mulai meneliti satu per satu huruf yang terukir di bingkai cermin di sisi kiri dan kanannya. Mulai membacanya dengan ragu. Mengandalkan memori yang dia ingat saat anak-anak membacanya tahun lalu.

"Din domu inik-inik sengiu ujunkin ike mombeki partil unu din buirkin ike misek ko denui Keikai denui koibidein ."

Hening sejenak. Cermin itu bersinar terang selama satu detik sebelum akhirnya gelap.

"Ren!" sergah Sindia seraya merangkul adiknya yang berhasil menembus keluar cermin.

Adiknya tak sadarkan diri untuk beberapa saat.

"Lubang apa ini?"

Mereka terheran-heran melihat cermin yang berubah menjadi lubang hitam. Seperti sebuah terowongan yang menghubungkan hutan itu dengan tempat lain.

Mereka tak berani memasukinya.

Mereka akhirnya pulang.

Sindia bahagia melihat adiknya telah kembali. Tak ada hal aneh dengan adiknya.

Keesokan harinya, adiknya sama seperti yang dia kenal, periang, dan dengan cepat beradaptasi bersama anak-anak lainnya secara normal. Saat ditanya Sindia, Rendi tak ingat apa-apa mengenai segala hal yang terjadi padanya. Ke manakah dia hilang selama 3 tahun. Tapi Sindia melihat ada gambar aneh di perut adiknya tersebut. Gambar sebuah bintang berwarna hitam dalam matahari merah yang berkobar.

***

Kie Light #2: Tunggang Gunung (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang