Part 4 - Teman Curhat

Mulai dari awal
                                    

Mereka mampir ke sebuah danau. Mereka berjalan menyelusuri pohon-pohon besar mencari tempat duduk. Disana ada tikar-tikar yang sengaja digelar. Pengunjung bisa menyewanya dengan harga Rp. 20.000. Banyak pengunjung yang datang bersama keluarganya. Dan ada juga dengan kekasihnya. Walaupun hari semakin sore masih banyak pengunjung yang belum pulang.

Tama memilih tikar dekat danau. Pemandangannya sangat bagus. Ada pengunjung yang naik bebek-bebekan. Mereka duduk sambil memperhatikan danau.

"Sebentar, aku beli minum dulu ya," Tama bangkit lalu ke warung yang ada dibelakang mereka. Sebelum Aisha protes. Gadis itu merasa tenang. Suasananya tidak begitu ramai dan dingin. Ia lebih suka melamun daripada mengobrol. "Ini," ucapnya sambil menyerahkan minuman botol dan juga makanan kecil.

"Makasih," ucap Aisha.

Tama duduk agak berjauhan. "Udaranya sejuk ya."

"Iya," balas Aisha.

"Sekarang udah nyaman?" tanya Tama seolah mengejek. Pipi Aisha memerah karena malu. Tama seakan tahu tentang dirinya. Pria itu sudah menikah, tekannya. "Dulu aku pernah ketemu sama kamu lho dijalan. Aku mau nyapa tapi takut kamu nggak mau kenal aku,"

"Masa sih, kapan? Mungkin aku nggak kenal. Kamu banyak berubah soalnya."

"Bisa aja kamu," Tama terkekeh. "Dulu aku pernah mau cerai dengan istriku." Tiba-tiba Tama menceritakan masalah pribadinya. Aisha menoleh padanya. Pandangan Tama lurus ke depan danau. "Tapi aku masih ingat anak. Jadi aku urungkan niatku itu. Istri protes karena pekerjaanku yang jarang dirumah."

Aisha hanya mendengarkan keluh kesah temannya itu.

"Aku bilang sama istriku, kalau mau pisah ya udah pisah. Aku nggak rugi kok, aku kerja. Aku bilang padanya kalau aku bisa mencari wanita lain. Dan akhirnya istriku minta maaf."

"Nggak jadi cerai?"

"Nggak,"

"Namanya berumah tangga pasti ada masalah. Kalau udah punya anak pasti jadi pertimbangan untuk nggak pisah. Jangan suka ngomong cerai, Tama." Aisha mengomelinya.

"Tapi kadang suka emosi juga, Sha. Aku kerja kan untuk mereka."

"Iya, tapi istrimu itu butuh suami dan ayah buat anaknya. Yang nemenin dirumah, bukannya sibuk kerja tanpa ingat mereka," Aisha memberi pengertian. Kalau ia menjadi istripun pasti begitu. Ingin suaminya ada dirumah.

"Setiap hari aku telepon dan video call." Tama membela diri. Ia mendesah, "kenapa aku jadi curhat begini ya sama kamu," ia menertawakan dirinya sendiri.

"Nggak apa-apa kok aku seneng. Aku jadi tau gimana berumah tangga itu." Aisha tersenyum.

"Kamu udah punya pacar, Sha?"

"Belum," Aisha menunduk.

"Masa sih?" Tama tidak percaya.

"Iya,"

"Kamu mau jadi istri kedua aku nggak?" candanya. Hampir saja Aisha melempar botol mineral ke arahnya. Ia mendelik.

"Maaf ya, aku nggak minat," Aisha cemberut. Tama tertawa terbahak-bahak. Entah kenapa gadis itu nyaman bersama Tama yang berstatus suami orang. Ia tidak perlu jaim atau apapun itu.

"Mau aku kenal kan sama temanku nggak?"

"Boleh, kalau ada," Aisha hanya bercanda. Ia tidak menganggapnya serius.

"Oke, nanti aku cariin deh. Mau naik itu nggak?" Tama menunjuk bebek-bebekan. Aisha merinding ngeri.

"Aku takut, Tama. Nggak mau ah, lagian aku nggak bisa berenang."

Feeling  (GOOGLE PLAY BOOK & KBM APP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang