02. Him.

12.2K 1.7K 15
                                    

Tetesan air yang jatuh menemui kerumunan menjadi pengisi kekosongan saat ini. Sembari menggigit bibirnya menahan tangis, Jungkook meringkuk ketakutan di pojok bilik berukuran satu kali satu meter yang lumayan kotor. Rasanya ingin pulang ke rumah bibinya dan meringkuk di dalam lemari seharian saja. Tapi kenyataannya Jungkook terlalu takut untuk menginjakkan kaki disana karena pamannya. Tak usah ditanya mengapa Jungkook bisa sebegitu takutnya dengan pria paruh baya tukang mabuk itu. Pria bajingan peminum alkohol yang telah merenggut sebagian dirinya beberapa bulan lalu dalam tidurnya. Alasan tidak sadar menjadi alibinya ketika ditanyai oleh polisi. Dan Jungkook masih mengingat jelas bagaimana seringai licik terukir di bibir tebal menjijikan yang pernah memeta di kulitnya.

Hidupnya sangat memuakkan mulai saat itu. Ia dianggap dan diperlakukan seperti jalang kecil yang tak memiliki nilai oleh sang paman. Trauma malam itu akan membekas sangat lama di dalam jiwanya.

Laki-laki dengan suara bariton itu mungkin masih disana. Itu hanya sebuah kemungkinan, karena selain suara tawa keras tadi, sama sekali tak ada tanda-tanda mengenai keberadaannya. Maka kali ini Jungkook memberanikan dirinya untuk beranjak, membuka pintu dari bilik yang menjadi tempat persembunyiannya saat ini. Bau karbol pekat langsung menyerang indera penciumannya saat itu juga. Tak ada siapapun disini kecuali kotak sampah di ujung lorong dan kaca besar yang menampilkan dirinya saat ini.

Jungkook melangkahkan kakinya perlahan, berusaha untuk tak menimbulkan suara. Ia merasa kalau pria itu masih berada di sekitar sini. Hanya sebuah perasaan saja, tetapi cukup membuat dirinya luar biasa takut. Belum pernah ada orang lain yang mengikutinya ke tempat ini. Karena Jungkook yakin bahwa dia selalu sendiri.

BRAK

'Akh-. . . . .'

Kali ini Jungkook memejamkan matanya takut. Tubuhnya bergetar takut dalam sergapan lelaki asing yang dengan tiba-tiba muncul entah darimana. Punggung rapuhnya tadi sempat menatap tembok dengan keras, menimbulkan sakit di seluruh bagian belakangnya.

"Manisku, buka matamu. Aku tak akan membunuhmu sekarang. Santai saja lah, jangan takut denganku."

Demi apapun, tingkah ketakutan dalam dirinya meningkat tajam mendengar bagaimana suara itu masuk melalui pendengarannya. Memang tak terdengar mengancam, hanya saja Jungkook merasa kalau suara itu terlampau menakutkan seperti sang paman.

"Hei, Jungkook-ah. Tak perlu takut seperti itu. Buka matamu dan kau akan tahu siapa aku."

Rasa takutnya kini teralihkan dengan rasa penasaran yang tiap detik makin menguat. Maka pada lima detik berikutnya, Jungkook memberanikan diri untuk membuka matanya dan di detik selanjutnya, Jungkook menyesal.

"Tahu siapa aku sekarang, Jeon Jungkook-ssi?"

Degukan sekilas terdengar dari Jungkook begitu ujung mata pisau menyentuh bawah dagunya. Ia menyesal karena lebih menuruti rasa penasarannya untuk tahu siapa pemilik suara bariton yang mengikuti dirinya dibanding menyerah pada rasa takutnya.

Benar kata kebanyakan orang,

Rasa penasaran itu terkadang lebih cepat membunuh dibandingkan rasa takut itu sendiri.

--------------


"Monsters are real, ghosts are real too. They live inside us and sometimes, they win"


--------------

Terpojok di sudut dinding dengan mata pisau yang bermain bebas di pipi hingga lehernya membuat adrenalin Jungkook berpacu. Seperti menghadapi seorang pembunuh berdarah dingin yang tak memiliki belas kasihan dalam menghabisi korban-korbannya. Jungkook jelas mengenal siapa laki-laki pemilik suara bariton dan pisau tajam ini.

Kim Taehyung.

Sosok gemilang yang dikaguminya semenjak menginjak kelas pertama di sekolah menengah atas. Sosok yang diam-diam disukainya. Karena Jungkook tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan dan merasa tak pantas bersaing dengan bintang sekolah.

Seperti pangeran dan rakyat jelata yang tidak pernah bisa bersatu atau seperti minyak dan air yang tidak bisa membaur ketika bersisian.

"Sebenarnya sayang sekali ingin melukaimu. Tapi akhir-akhir ini hasrat membunuhku kembali keluar. Dan kau sasaran yang sangat empuk untuk jadi korban." Ia terkekeh lalu kembali mengukir kulit seputih porselen milik Jungkook dengan ujung mata pisaunya. Disaat begini, Jungkook yang bisa berharap ada seseorang, siapapun itu yang bisa menolongnya.

"K-kenapa harus aku?" Jungkook mendeguk takut. Ia sama sekali tak dapat bergerak walau se-inci. Salah salah, ia bisa mati konyol karena nadi utamanya putus.

"Karena aku tertarik denganmu."

"T-tertarik denganku? Kenapa?"

"Karena kau cantik dan lemah sekaligus. Sayangnya tak ada yang peduli denganmu, mudah untuk menghilangkan dirimu sekejap mata."


Sialan, Jungkook merasa kalau ia sudah salah menyukai Taehyung.

"Nah, sudah selesai." Taehyung menarik diri, mengangkat pisau yang sejak tadi mengukir kulit halus Jungkook dengan goresan dan tak lupa mencium sekilas sudut bibirnya. Jungkook membelalakan mata terkejut.

Apa barusan Taehyung menciumnya?

Apa tadi itu halusinasinya saja?

"Bebat lukamu dengan perban sebelum kau mati kehabisan darah disini." Jungkook mengambil segulung perban dari tangan Taehyung dan membebat luka goresnya dengan gugup. Mata hazel tajam itu mengintimidasinya dengan jelas dan memperhatikan dirinya yang sibuk menutup luka.

"Besok tak perlu berangkat ke sekolah. Datanglah ke apartemenku pukul sembilan. Aku ingin menunjukkan sesuatu untukmu di basement. Dan pastikan menyiapkan mentalmu agar tidak terkejut." Ucapnya pelan dan Jungkook mengangguk pasrah. Ia tak kuasa untuk menolak permintaan dari Taehyung karena kemungkinan laki-laki itu akan kembali berbuat seperti tadi kalau tak dituruti.

"Kalau menurut begini, kau manis sekali." Puncak kepalanya diusap asal dan pipi Jungkook telak memerah.

Jungkook bingung sekarang.

'Apa maksud Taehyung memperlakukan dirinya barusan padahal jelas tadi seperti ingin melukainya?'

--------------

Here, dear♡

180723


Killer +taekookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang