"Istighfar Na. Jangan seperti ini. Ibu takut kamu melakukan hal yang berlebihan nantinya. Ingat Allah maha melihat. Jangan sampai Allah melihat mu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan.  Allah yang maha mengatur Na. Kita tidak pantas membantah aturan-Nya. Ma Qodarullahi Khoir (Semua ketetapan Allah itu baik)."  Nur melanjutkan dengan suara serak.

Berulang kali Hana merapalkan kalimat Istighfar. Sempat terbersit pertanyaan dalam pikirannya apakah ibu tidak merasa kehilangan? Kenapa ibu bisa begitu tenang di saat ayah telah pergi untuk selamanya? Cepat-cepat ia menghilangkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Lama mereka saling diam. Mencoba melepas sesak melalui isakan. Meresapi tiap-tiap ayat suci yang dilantunkan. Mencari ketenangan.

Hana menghapus air matanya saat merasakan tangan seseorang yang mengusap punggungnya dengan lembut. Ia tahu itu bukanlah tangan sang ibu. Hana berbalik menatap orang itu saat ibu telah melepas dekapannya. Dia adalah seseorang yang mulai Hana kagumi. Mata teduhnya terlihat merah seperti sedang menahan tangis. Dia seakan ikut merasakan kepedihan Hana.

“Mba Farah,” lirih Hana dengan suara sedikit sengau, ia memeluk Farah erat.
Air mata yang Farah tahan sejak tadi jatuh begitu saja bersama isakan Hana. Farah ikut menangis merasakan kesedihan yang Hana alami karena telah kehilangan orang terkasih. Ia pernah merasakan sakit yang sama saat kedua orang tuanya telah di jemput oleh sakaratul maut. Sehingga yatim piatu menjadi takdirnya. Kini Farah tak bisa berbuat apa-apa ia hanya bisa mengusap pucuk kepala Hana mencoba untuk menenangkan. Isakan yang ia dengar semakin memilukan. Seakan menusuk relung hati terdalam.

Terkadang diam menjadi solusi terbaik bagi orang yang ditinggalkan. Mereka membutuhkan pelukan bukan kata-kata yang menenangkan. Bukan kata "sabar" karena saat itu mereka sama sekali tidak mengerti apa makna dari kata itu.

Tanpa Hana sadari, dari balik pintu ada sepasang mata yang terus memperperhatikan dirinya. Ikut merasakan kesedihan yang Hana rasakan. Bahkan dia ingin Hana menjadikan bahunya sebagai sandaran, tempat menumpahkan segala kesedihan. Namun hal itu tidak akan mungkin menjadi kenyataan.

“Hana sudah sholat Dzuhur nak?” Suara parau ibu terdengar.

Hana menggeleng.

“Sholat lah nak, sebentar lagi waktu Ashar akan tiba. Setelah Ashar jenazah ayahmu akan dikebumikan." Nur menghapus jejak air mata di wajah Hana.

Hana menatap lekat wajah ibunya. Sungguh Hana tidak ingin pergi kemana pun. Ia tidak ingin jauh dari ayahnya barang seinci pun, namun tak ada yang lebih penting selain melaksanakan perintah dari sang pencipta. Hana mengangguk kelu. Ia mencoba bangkit untuk mengambil air wudhu dan melaksakan sholat Dzuhur.

Awalnya bagi Hana sholat memanglah sebuah kewajiban namun belakangan ini pola pikirnya berubah ia menganggap bahwa Sholat bukan hanya sekedar sebuah kewajiban melainkan sebuah kebutuhan. Manusia membutuhkan Allah karena manusia adalah makhluk yang terus berkeluh kesah dan banyak meminta. Hanya kapada Allah lah tempat terbaik menyampaikan keluh kesah. Terlebih sholat itu bagaikan sebuah candu yang dimana seseorang akan merasa gelisah jika belum menunaikannya.

Baru saja hendak melangkah, Hana tiba-tiba terjatuh. Tubuhnya luruh diatas dinginnya lantai keramik. Ia tidak kuat untuk melangkah lebih jauh lagi. Tulang-tulangnya seolah remuk begitu saja hingga tak mampu menopang tubuhnya. Nur dan Farah membantunya berdiri dan membopongnya menuju kamar mandi.

🌸 🌸 🌸

Hana menangis sejadi jadinya, ini adalah kali kelima ia mengulang takbiratul ikhramnya. Sungguh ia tidak mampu mengangkat tangan mengucap takbir karena setiap ia melakukannya ingatan akan percakapannya bersama sang ayah kemarin sore kembali terngiang.

Sore itu Ardi menelpon menanyakan kabarnya, mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini dia akan pulang. Dia akan mengajak Hana dan Nur berwisata ke tempat-tempat bersejarah. Sungguh Hana sangat senang mendengarnya. Ia menaruh harapan penuh kepada sang ayah karena ayahnya adalah seorang yang selalu menepati janji.

"Hana jaga diri baik-baik nak, jaga ibumu. Jangan membantah perkataannya. Ayah rindu kalian."

Itulah kalimat penutup yang Ardi ucapkan saat mengakhiri percakapan diantara mereka. Sungguh hati Hana sangat sakit mengingatnya. Itu adalah kata rindu terakhir yang ayahnya ucapkan.

Kembali Hana mengusap airmatanya. Menguatkan diri agar mampu melaksanakan sholat. Beberapa menit kemudian Hana menyelesaikan sholat Dzuhurnya meski khusyuk tidak sepenuhnya ia rasakan.

Lantunan doa mengiringi kepergian sang ayah. Airmata yang sejak tadi membasahi kini telah mengering seolah tak ada yang bisa mengalir lagi. Menyisakan sisa-sisa yang membuat wajahnya terlihat tidak karuan.

🌸🌸🌸

27 Dzulkaidah 1439

HANA (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang