At the Rooftop

9K 936 154
                                    

Angin di atas sini kencang sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angin di atas sini kencang sekali. Jaket yang kukenakan tidak mampu menahan dinginnya angin yang menusuk kulit.

Aku sudah berada di rooftop apartemen. Terengah-engah karena berlari di sepanjang tangga. Tidak juga, sih. Bagian yang paling membuatku terengah adalah ketika mengendap-endap keluar dari apartemen. Ini memang jam satu malam. Orang tuaku dan Jojo sudah ada di kamar mereka masing-masing. Tetap saja membuatku menahan napas. Siapa tahu Mama masih duduk di dapur menangisi sesuatu. Penyakitku, misalnya.

Dadaku terasa sakit karena degupan ini.

Sebentar lagi. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan sakit. Sebentar lagi semua rasa akan hilang. Tidak ada kemoterapi. Tidak ada wajah-wajah sedih. Tidak ada kanker. Aku tidak akan hidup seperti orang-orang lain. Aku akan berada di alam lain. Sebuah alam yang tidak ada kanker di dalamnya.

Kakiku melangkah ke pagar beton setinggi satu meter yang membatasi rooftop

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kakiku melangkah ke pagar beton setinggi satu meter yang membatasi rooftop. Rambutku berkibar liar diterpa angin malam. Flat shoes-ku berpijak dengan mantap di atas beton selebar tiga puluh sentimeter ini. Rok hitam melambai-lambai seperti menari. Napasku masih terengah. Entah karena pacuan adrenalin atau karena tipisnya oksigen di puncak apartemen tiga puluh lima lantai ini.

Jakarta masih menyala dalam lampu malam. Beberapa mobil terlihat melaju dengan kecepatan yang tidak biasa. Semua terlihat jauh lebih kecil daripada ketika kulihat dari kamarku. Apakah nanti semua akan jauh lebih kecil ketika kulihat dari dunia lain?

Apakah aku benar-benar akan pergi ke dunia lain?

Pikiranku gersang. Sarang laba-laba yang menutupi otakku terasa makin tebal. Otakku benar-benar tidak tersentuh cahaya sekarang.

Perih. Angin bertiup cukup kencang membuat mataku kering. Saluran air mata merespon cepat. Aku menangis. Sebuah tangisan yang membuat dadaku terasa nyeri. Sebuah tangisan yang membuat kepalaku berkedut menyakitkan. Apakah ini karena angin atau keputusan yang kubuat?

Apakah memang ini akhir hidupku?

Perutku terasa mual. Aku ingin muntah. Apa boleh aku muntah sebelum mati?

Rooftop Buddies (Terbit - Gramedia Pustaka Utama)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang