"It's all or nothing."

Start from the beginning
                                    

Harry memutar kedua bola matanya dan menatap laki-laki itu tajam. "Kau yang tidak pernah datang berkunjung. Lagipula apa maksudmu dengan ini semua? Untuk apa memasang bom di rumah kami, hah?! Kau kira kami penyusup? Bahkan aku yakin kedatanganku dan Lily sudah bagian dari rencanamu." Harry hampir saja meluapkan amarahnya dengan memukul Louis hingga babak belur, namun Lily menahannya.

"Hey, tenang! Itu memang benar, tapi aku berharap kalian tidak keberatan mendengar alasanku, okay?" ucap Louis hati-hati. "Kemari, biar kujelaskan secara baik-baik kepada kalian berdua." Ia mengarahkan Harry dan Lily agar makin masuk ke dalam ruangannya.

"Sebaiknya kau punya alasan yang kuat agar kami tidak mencekikmu sekarang juga," tutur Lily mengikuti Harry dan duduk pada salah satu kursi yang tersedia di depan meja kerja Louis. Sejujurnya, ia masih tidak percaya kalau pria itu yang melakukannya.

"Begini. Aku dan timku memasang bom tersebut atas perintah bos Hugo. Ia ingin kalian kembali. Tapi setelah dipikir-pikir; kalian pasti tidak akan mau datang, jadi percuma jika dibujuk–hasilnya sudah pasti sia-sia. Bos Hugo sendirilah yang bilang bahwa cuma itu satu-satunya jalan. Pihak polisi bahkan sudah dibuatnya setuju agar dapat membereskan tempat kejadian."

"Satu-satunya, katamu?!" Lily tampak emosi. Walaupun belum terlalu lama rumah itu mereka tempati, tapi ia tetap tidak terima. Harry lantas menenangkannya.

"Dengar, ini misi terakhir kalian dari bos Hugo. Jika diterima, maka semua kerugian akan diganti dan selanjutnya pihak Hugo's tidak akan ikut campur lagi. Kalian akan resmi berhenti jadi agen, bebas menjalani hidup normal seperti yang kalian impikan. Tapi kalau tidak, pihak Hugo's tidak akan bertanggung jawab."

"K-kau bercanda."

Louis menggeleng, melipat tangannya di atas meja sebagai tumpuan dagu. "Aku harap aku bisa membantumu, Harry. Tapi kalian pasti tahu sudah berurusan dengan siapa, dan dimana. It's all or nothing." Wajahnya tampak serius.

Harry memejamkan matanya, lalu menghembuskan napas. "Apa misi terakhir itu?"

"Sebentar."

Louis bangkit dari kursinya, lalu membuka brangkas di belakang lukisan yang menggantung tak jauh dari mereka berada. Ia mengambil map biru, lalu melemparnya ke atas meja. Lily membuka map tersebut lalu membaca isinya. Sebuah profil seorang gadis.

Louis berjalan kembali ke kursinya. "Nora Renee Wallonia. 18 tahun. Satu-satunya putri dari kerajaan Wallonia di Belgia bagian utara. Memegang warisan paling banyak di antara kerabatnya. Ia telah diteror habis-habisan oleh seseorang yang tidak dikenal."

"Apa saja terornya?"

"Banyak. Salah satunya kiriman bunga yang dilumuri darah ayam, setiap pagi."

Harry dan Lily mengernyit. "Apa tidak ada anggota keluarga yang dicurigai?"

Louis menggeleng. "Semuanya telah diperiksa."

"Jadi? Apa yang harus kami lakukan?"

"Minggu kemarin, ada surat ancaman bahwa putri Nora akan diculik saat pesta jamuan makan malam kerajaan Wallonia. Tanggal 23 Maret, tepatnya dua minggu ke depan. Tugas kalian tidaklah sulit, hanya melindungi gadis itu. Bukan seperti detektif yang menyelidiki kasus."

Lily maupun Harry sebenarnya masih bimbang, apa harus menerima misi ini atau tidak.

"Niall juga ikut dengan kalian, walaupun tidak banyak membantu. Dia akan datang besok," lanjut Louis.

Harry lantas menunjukkan ekspresi tidak sukanya. "Kenapa harus dia? Kukira Niall mendapat misi lain ke London."

"Mungkin misi ini yang dia maksud."

Getaway 》Styles a.uWhere stories live. Discover now