Belum sempet Lea menjawab, aku mendengar suara wanitaku berkata dengan lemah. "Le, haus"

"Le, dimana lo sekarang?" Aku sudah tidak menggunakan kata 'kamu' lagi untuk bersopan kepadanya. Dia telah membohongiku.

"BUAT APA LO NANYA-NANYA? GUE GAK BAKAL KASIH TAU, LO TUH CUMA BISA NYAKITIN LUNA" teriaknya begitu keras, seperti kebiasaan Luna dulu.

Tut. Dia langsung mematikan telponnya. Sial, aku belum tau keberadaan wanitaku. Dan kuyakin, keadaannya tak baik. Suaranya terdengar begitu lemah.

"RAYA!!!!" teriakku memanggil sekretarisku. Dalam hitungan detik, dia sudah muncul di depan pintu dengan pandangan takut.

"Panggil Yudha sekarang!" Perintahku, tak mempedulikan ketakutan dari sekretarisku. Jelas dia takut, karena waktu villaku di puncak di bakar saja aku tidak se-emosi ini.

Yudha datang dalam waktu kurang dari 5 menit, dan langsung kuberi ia tugas untuk mendatangi kost-an Lea, ku deskripsikan kost-an itu seingatku. Kusuruh Yudha mencari keberadaan Luna.

Dalam waktu kurang dari 1 jam aku sudah mendapat kabar kalau Lea tidak ada di kost-an, melainkan di rumah sakit Mitra Keluarga. Menjaga Luna. Wanitaku itu ternyata benar-benar terbaring disana.

Dan disinilah aku sekarang, di depan pintu ruangan bertuliskan angka 212. Tempat wanitaku terbaring.

Kuketuk pintu itu 2x, dan pintu itu langsung dibuka oleh Lea. Ia melihatku dengan kaget, namun tatapannya tajam, seakan-akan siap membunuhku. Aku tak mempedulikannya.

"Siapa Le?" tanya suara lemah yang sangat aku rindukan. Bayangkan, tidak sampai 2 hari aku tidak bertemu dengannya saja, aku sudah sangat merindukannya seperti ini.

Kuterobos masuk pintu ini, dengan sedikit menyenggol bahu Lea sedikit. Ia tidak mengaduh sama sekali. Ia wanita yang kuat.

Kulihat dihadapanku, wanitaku sedang terbaring lemah. Ia menatapku dengan pandangan yang sangat sulit kuartikan. Aku mendekat, dan ia mengalihkan wajahnya dari hadapanku. Ia menatap pintu.

"Le, mau kemana?" tanyanya.

Kutolehkan kepalaku kebelakang, dan melihat Lea hampir menutup pintu itu. Kepalanya nongol dicelah pintu. "Kantin bawah, laper coy" katanya.

Hm, sadar diri juga rupanya dia.

Luna tak melarang Lea sedikitpun saat ia ingin pergi.

"Luna" panggilku, mencoba menyentuh pipinya, tapi ia menghindar.

Tak kusangka, aku akan sulit menyentuh pipi istriku sendiri. Padahal, malam-malam yang lewat dengan mudahnya aku menyentuh semua bagian tubuh istriku.

"Ngapain kesini?" tanyanya dengan nada yang ia usahakan supaya terdengar marah.

Aku terdiam, karena ia belum menolehkan kepalanya kepadaku.

"Ngapain?" tanyanya saat menoleh kepadaku, dan kulihat air matanya sudah menggenang. Terlihat begitu besar kesakitan yang ia tahan.

"Maafin aku, Lun" kataku dengan emosi tertahan. Dialah wanita satu-satunya yang dapat membuat emosiku bercampur aduk seperti ini. Sedih, bersalah, kehilangan.

"Pergi kakak dari sini, kakak cuma bisa nyakitin Luna" katanya, saat ia berusaha untuk duduk. Saat kulihat ia sepertinya kesusahan, kucoba untuk membantunya, tapi tanganku ditepis kasar dengannya. "Jangan sentuh Luna kalo kakak cuma mau nyakitin Luna"

Kata-katanya entah kenapa terasa sangat menusuk hatiku. Dialah titik kelemahanku. Ahh...

"Luna, kakak minta maaf, kakak gak bermaksud buat nyakitin Luna" kataku.

Bitter-Sweet Wedding ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang