"Bentar aja Cha, ya ya ya?" bujuk Diandra.

"Oke lah, sebentar aja ya."

"Makasih ya Ochaaaaa." Katanya sambil mendekat ke araku dan mencubit kedua pipiku.

"Sakit tauk."

"Yaudah Shane, gue sama Diandra pergi dulu, jagain anak gue baik baik." Pamit kak Ciko pada kami.

"Siap." Balas kak Shane.

Kak Ciko dan Diandra sudah pergi, kini tinggal aku, kak Shane dan dedek bayi. Aku dan kak Shane masih saja duduk di samping Zidan dan memperhatikannya yang sedang tertidur dan sesekali menggerakkan tangan kecilnya. Dia sangat imut. Beberapa menit berlalu tapi kami tidak bosan melihat Zidan.

"Kak Shane, jangann." Larangku saat tangan kak Shane maju ingin mencubit pipi Zidan.

"Pelan doang."

"Ihh jangan, nanti dedeknya bangun." Larangku kembali tapi kini tangan kak Shane sudah berada di pipi Zidan.

Aduh nangis nih nangis dedeknya, kak Shane bandel amat.

Zidan menggerakkan kepalanya, dan bibirnya mulai bergerak sepertinya dia akan menangis.

"Huaaa Oekkk Oekkk Oekkkkkkk" Benar saja Zidan mengeluarkan suara nyaringnya.

"Kak Shaneeeeee nangis kan."

"Aduh aduh maaf Sayang, gak tau kalo bakalan nangis." Kak Shane merasa sangat bersalah.

"Sayang, Zidan Sayang, cup cup cup cup." Kataku sambil menepuk- nepuk paha Zidan berharap tangisannya berhenti.

"Oeekkkkk Oekkkkkk Huaaaaaa." Bukannya berhenti tapi suara tangis Zidan semakin kencang saja.

"Sayang itu Zidannya gimana?" Kak Shane terlihat kebingungan begitu juga dengan diriku.

"Aduh cup cup cup yaa, jangan nangis dong, anak pinter gak boleh nangis yaa." Aku masih berusaha menenangkan Zidan.

"Sayang coba deh kamu gendong." Kak Shane memberi saran padaku, aku panik karena memang sebelumnya aku belum pernah menggendong dedek bayi.

"Ihh aku takut, belum pernah gendong bayi kak." Rengekku pada kak Shane.

"Dicoba sayang, itu kasihan nangis terus." Ku lihat keringat kak Shane keluar dari pelipisnya, memang suhu ruangan menjadi bertambah panas, mungkin karena kami berdua sedikit panik.

Akhirnya aku pun mencoba untuk mengangkat tubuh mungil Zidan. Sedikit takut memang pada awalnya, bahkan tanganku gemetaran saat mengambilnya. Aku memang sudah sering menggendong anak kecil seperti Daffa dulu, tapi tidak sekecil ini.

"Oek oekk haa." Tangis Zidan sedikit mereda, walaupun memang belum berhenti.

"Kayaknya dedeknya haus, itu lihat deh mulutnya buka buka gitu Sayang." Tunjuk kak Shane pada Zidan yang memang sepertinya kehausan.

"Duh minumin apa dong kak?" Aku kasihan melihat Zidan masih saja menangis.

"ASI lah."

"Ya mana punya aku."

"Ohiya yaa, itu aja pakek susu bubuk atau apalah itu."

"Bener juga kamu kak, ihh coba deh telepon Diandra atau kak Ciko tanya dimana itu susu sama botolnya kak."

"Oke oke bentar ya."

Kak Shane menelpon Diandra, sedangkan aku masih menggendong Zidan dan menggerakkan- gerakkannya agar lebih tenang. Sepertinya Zidan sangat ingin minum. Mukanya sudah merah sekali karena menangis. Sesekali tanganku menyeka air matanya yang mengalir di sudut mata kecilnya.

PACAR RAHASIA : Bukan LagiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora