(04) Masa Lalu

Mulai dari awal
                                    

"Iya Mar. Tapi, nggak usah gitu juga kali kagetnya!" tegurnya. Yuzar bergumam, "Terkutuklah wahai kalian orang-orang genius."

Sambil memegangi setang sepeda, Yuzar bertanya, "Lah? Jadi kamu nggak tahu ini sepeda Mar? Kamu nemu sepeda ini di mana? Atau jangan-jangan maling, yah?"

Aku tabrak saja, setelah ia berkata seperti itu.

Setelah kami mencari tempat duduk yang nyaman di sekitar sana, aku menceritakan kepadanya kenapa sepeda Mar ada padaku. Aku masih bergumam tak menyangka, bahwa yang menolongku kala itu adalah Mar, sembari menggigit lidahku karena menyesal telah menganggapnya pahlawan, walau kenyataannya memang benar. Sulit untuk diakui, bahwa dialah yang menolongku. Diingat-ingat dari perawakan dan suaranya juga, itu memang dia.

"Kalau gitu udah nggak usah khawatir. Mar pasti menang."

"Hah! Kamu yakin?"

"Yups, kalau para perampok itu beruntung, mungkin mereka masih hidup. Dulu juga Mar hampir, umm, mukul kakak kelasnya sampe ... ya begitulah."

"Ya gitu gimana? Yang jelas ngomongnya!"

"Mukul mereka sampai hampir ... uhuk ... mati"

"Hah? Kok bisa?"

"Jadi gini, aku sama Mar satu sekolah dari SMP, tapi beda kelas ...."

Kejadiannya waktu mereka menginjak kelas 2 SMP, Yuzar disuruh oleh gurunya mengembalikan setumpuk buku tulis ke ruangan kelas kosong. Kelasnya kosong karena siswa-siswinya sedang ada jam olahraga, memproduksi keringat di lapang yang Mataharinya begitu terik. Ketika murid-murid itu kembali, salah satu dari mereka mengaku telah kehilangan dompet yang ia rasa disimpan di tasnya selama ia tinggal waktu jam olahraga.

Hanya karena alasan sesederhana itu, Yuzar dituduh atas hilangnya dompet milik salah satu murid di ruang kelas itu. Tentu ia mengelak dan membela diri, bahwa ia hanya mengembalikan buku tulis ke ruangan dan guru yang menyuruhnya pun mengiyakannya.

Namun, kehebohan sudah menyebar hingga terdengar oleh kakak kelas yang dikenal sangat sangar, jumlah mereka lima orang. Mungkin niat mereka ingin menjadi pahlawan dengan memaksa Yuzar mengaku, bahkan menyiksanya dengan sabuk besi di belakang gudang sekolah pada jam isirahat.

Kakak kelasnya terus mengintrogasi, "Zar, kalau masih nggak mau ngaku juga ... cambukan selanjutnya bakal lebih kerasa. Soalnya bakal mendarat di .... "

Plak!

Yuzarsif kala itu hanya bisa menahan tangis dan sakitnya, ketika terpojok di dinding sambil memegangi wajahnya yang tercambuk bahkan berdarah.

"Oy manusia! Kalian salah sasaran," tegur Mar dari belakang. "Kalian maksa orang yang salah. Ini 'kan yang kalian cari?" tanya Mar sambil mengasongkan sebuah dompet. "Aku nemu di toilet tadi, mungkin yang punya lupa, kalau udah ngejatuhin barang berharganya di toilet."

"Ah anjing! Ngaku aja loe yang malingnya!" Entah apa yang ada dipikiran preman-preman sekolah itu, ketika Mar menunujukkan sebuah jalan keluar, mereka malah berkata kasar dan balik menuduhnya.

Buk!

Salah seorang dari mereka ada yang maju dan memukul Mar sangat keras di bagian perut. "Kecil-kecil udah berani nyolong!"

"Hoo, rupanya manusia nggak bisa diajak ngobrol yah?" Ia malah tersenyum lebar setelah dipukul, bahkan membuat Yuzarsif orang yang ia tolong pun ketakutan.

Setelah Mar menyakui dompet yang ia temukan ke saku celananya. "Malah disakuin. Balikin Anj–" belum selesai orang yang memukul Mar berbicara, Mar balik memukulnya di bagian perut dengan tangan kirinya hingga si target muntah darah. Entah organ dalam apa yang hancur.

"Empat lawan satu, ayo maju!" tantangnya. Namun, setelah melihat aksinya tadi, tidak ada satu pun yang berani maju.

"Diem loe anjing! Pergi dari sini! Atau ...." Kakak kelas itu mengeluarkan sebilah pisau lipat. "... temenmu mati." Seraya menodongnya ke leher Yuzar yang gemetar sedari tadi.

Mar berbicara santai, "Pertama, membawa senjata gitu ke sekolah adalah pelanggaran berat. Kedua, bawa senjata ketika bertarung itu cengeng sangat. Ketiga, dia bukan temenku, Bangsat!" Mar bergerak sangat cepat, "jangan lengah, kalau gelut! Itu Keempat!"

Tinju di dagu yang dilayangkan oleh tangan kiri Mar, membuat rahang kakak kelasnya patah dan darah keluar dari mulutnya. Setelah itu ia, mengambil pisau lipat dan langsung membuangnya.

Begitulah kisah yang aku dengar dari Yuzar.

"Terus, tiga kakak kelas sisanya gimana?" tanyaku.

"Dua dari mereka hampir mati, setelah dipukul habis-habisan oleh Mar. Satu orang, tulang hidungnya hancur. Dan satu lagi hampir buta, karena Mar fokus mukul wajah mereka," jawab Yuzarsif.

"Dan ... yang satunya lagi?"

"Nggak disentuh sama sekali. Cuma disuruh ngelihatin dia nonjok teman-temannya."

"Itu jelas-jelas tindak kekerasan. Lalu, gimana Mar bisa selamat dari jeratan hukum? Apa nggak ada guru, atau polisi yang nanganin kasus itu," tanyaku penasaran.

"Entahlah. Yang aku lihat, Mar berbisik ke telinga orang yang dibiarkannya selamat. Dan setelah itu, kelima kakak kelas itu keluar dari sekolah tanpa alasan. Entah apa yang Mar bilang atau rencanakan. Yang pasti kejadian itu nggak ada yang tahu, selain aku ... dan kamu sekarang ini. Hah ... akhirnya aku bisa bercerita ... leganya ...." Yuzar menghela napas.

"Yuzar, apa ini rahasia?" tanyaku mengerutkan dahi.

"Bukan, bukan rahasia. Kalau kamu sendiri udah lihat kekuatan Mar yang melebihi manusia biasa," jawan Yuzar.

"Humm ... oh iya, kalian berteman sejak kejadian itu? Sampai sekarang?" tanyaku.

"Temen? Bisa dibilang kayak gitu, atau mungkin aku aja yang so' deket. Padahal dia anak baik-baik loh, sayang ibu. Bahkan kalau aku main ke rumahnya, Mar kelihatan normal. Tapi, mulut ini kayak ketakutan, kalau harus nanyain lebih soal kejadian itu. Pada akhirnya, aku memilih bersikap biasa aja di depannya. Seolah kejadian dulu itu belum pernah terjadi," jelas Yuzarsif.

"Jujur aja, aku bingung banget."

"Ya, aku juga bingung, Fi. Kenapa Mar selalu terlibat kekerasan," tanggapnya.

"Bukan, bukan itu. Untuk sementara, aku ngerasa nggak bisa ketemu dengannya."

"Oh aku tahu! Ok, biar aku aja yang nganter sepeda ini dengan segenap 'terima kasih' dan 'maafmu' ke Mar."

"Keren, Zar! Pasti banyak cewek suka sama cowok peka kayak gini nih."

"Yuzar gituloh."

"Yee ... dipuji malah tambah sombong, hahaha."

ORKANOIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang