Checkpoint M

1.3K 243 143
                                    


Kepada
Akademi Konseling Urusan Cinta & Kasus Multikrisis
(AKUCINTAKAMU)

Hallo,

Kapan ya kalian buka pendaftaran mahasiswa baru dan apa saja syaratnya?
Lewat SBMPTN, jalur undangan, jalur prestasi, atau jalur 'nyasar dan kecelakan'?

Aku masih kelas 10 sih. Tapi rasanya aku berbakat, siapa tahu bisa nge-bypass

Boleh juga diuji. Atau lihat saja mukaku. Entah kenapa, bukannya narik cewek berlesung pipit, tampangku malah kayak teriak-teriak promosi, "Ayo, ayo, aku terima curhat gratis! Sini, sini. Trak tak tak dung jes!" Tahu-tahu saja mereka datang dan menumpahkan uneg-uneg.

Kalau kutarik bayaran per jam, lumayan bisa beli ponsel baru. Mungkin nanti, kalau sudah dapat sertifikasi dari kalian, aku buka praktik profesional. Sementara, aku pengin bantu saja dengan modal telinga, menampung luapan rasa gundah gulana dan jeritan hati yang dilanda krisis.

Baca kasus-kasus berikut, kalian akan tahu apa yang kumaksud. Kalau lihat caraku menghadapi mereka, jangan-jangan kalian malah nobatin aku jadi dekan AKUCINTAKAMU. Iya ... tobat ... tobat. Haha. Ehem. (Setop! Lelucon garing enggak boleh lewat!)

Oke, aku ceritain ya ... Tapi ingat, ini confidential.

Hold your breath.

Kasus 1: Raiden versus Lucy

Aku lagi makan sendirian di kafetaria. Hei, ini bukan karena ditinggalin Meg Rayn. Kenapa sih kalian langsung mikir gitu? Pake istilah ngenes pula? Sesekali aku kan perlu me-time, oke? Enggak tergantung pada Rayn, enggak clingy sama Megan. Happy me-time. Happy sendirian. Beneran.

Makanya, sebal juga waktu Raiden tiba-tiba crash landed alias jatuh porak poranda di depanku kayak satelit ketabrak asteroid. Eh, aku sudah bilang kan, sejak kalah perang memperebutkan Megan, anak itu kayak satelit kehilangan orbit? Sekarang tinggal puingnya.

"Ardi, help me."

"Kalau cuma pengin tahu ke mana Meg Rayn pergi, get lost. Enggak bakal kasih tahu kamu biarpun pakai serum kejujuran!"

Biasanya Raiden tertawa diledekin seperti itu. Kali ini ia mendecak tak sabar. "Aku tahu mereka ke mana. Ini bukan tentang Megan. Please, dengerin dulu. Ini soal Lucy. Tolong."

"Lucy? Tadi aku ketemu dia di bawah,  masuk klinik. Mukanya merah banget. Sakit ya?"

Raiden menggosok-gosok muka lalu rambut sampai kusut. "Itulah. Aku yang bikin dia sakit, kalau deketan, Lucy langsung pilek parah. Tadi bersin 20 kali sebelum aku menjauh. Sudah jauh pun masih kudengar bersinnya. Kadang, malam-malam, di rumah, aku kayak dengar juga. Sampai kebawa mimpi. Gimana dong? Ini kayak kutukan."

Pandangan Raiden dan bibir cemberutnya membuatku waspada. "Kutukan buat kamu? Dari siapa?"

Raiden angkat bahu. "Lucy alergi bulu kucing, aku tahu. Tapi enggak nyangka separah itu."

Aku menyedot gulungan spageti terakhir. Mengunyahnya buru-buru karena Raiden menatapku penuh harap. Kalau ada paparazi menangkap momen itu, jangan-jangan dikira aku sengaja menggoda, makan enak di depan anak kucing kelaparan. "Kamu tahu solusinya. Jauhan, sejauh-jauhnya. Mudah kan? Kalian enggak sekelas, enggak ada alasan untuk deketan."

Ujung bibir Raiden semakin turun. "Sadis kamu, Di. Lucy perlu teman, biarpun dia enggak mau ngakuin itu. Sekarang, dia masih canggung sama Megan. Cuma aku yang bisa ngertiin dia."

Oooowwh. Bikin melting, kan? 

Eh, wait!  Raiden bisa bilang begitu? Aku enggak boleh langsung percaya. Pasti ada motif di baliknya. "Kamu barter apa lagi sama Lucy?"

Ardi's Checkpoints A-ZWhere stories live. Discover now