Checkpoint J

1.4K 270 60
                                    

Teruntuk

Ayahanda tercinta

di Tempat Damai Penuh Cahaya

Assalamualaikum wr.wb.

Ayah, apa kabar?

Maaf ya Yah, sudah lama aku enggak menulis untukmu. Bukan aku enggak kangen, itu sih tiap hari, tiap kali lihat teman-teman diantarkan ayah mereka ke sekolah. Kalau ngikuti kata hati sih penginnya nulis terus buat Ayah, kayak di tahun pertama Ayah pergi. Aku habiskan lima buku tulis untuk itu. Tapi ya gitu deh, isinya protes dan ngeluh melulu, malu kalau sungguhan dibaca Ayah.

Benar kata Rayn, sebaiknya aku enggak merecoki Ayah lagi dengan soal remeh temeh. Aku harus lebih banyak kirim doa untukmu. Ayah dulu juga berpesan, aku harus belajar menyelesaikan masalahku sendiri. Itu sebabnya, setelah kelas 7, aku hanya menulis untuk Ayah kalau masalah sudah beres, sebagai laporan.

Sudah lima tahun Ayah pergi. Pada 17 Agustus lalu, umurku 16 tahun. Aku masih sama kayak Ardi yang dulu. Setidaknya di dalam sini.

Luarannya, sudah beda banyak. Sekarang tinggiku 171 cm. Ayah mungkin bilang, "Waah jangkung ya kamu sekarang." Kayak Ninin dulu tiap kali ketemu aku. Iyalah Yah, kalau dibandingkan aku kelas 5 yang cuma 120.

Tapi faktanya, meski banyak olahraga dan cukup gizi, setengah tahun ini aku nambah dua senti saja. Grow spurt-ku sepertinya sudah melemah. Huaaaa. Padahal targetku minimal 175, biar enggak kejauhan dari Rayn. Sekarang dia 177, mentok di situ kayaknya karena sudah 17 tahun. Sebetulnya kesempatan buatku mengejar dalam setahun ini, kalau enggak slowing down lalu berhenti bertumbuh.

Tapi enggak apa, Yah. Aku enggak minder soal tinggi badan. Karena aku ingat Ayah bilang, "Kalau merasa pendek, tinggikan saja dirimu dengan kemuliaan membantu sesama."

Cuma khusus sama Rayn, rasanya ingin aku punya kelebihan darinya. Dalam hal apa aku bisa menang dari Rayn ya? Taekwondo, no. Pelajaran, apalagi. Soal Megan, lupakan, sudah jauh. Keberanian? Haha, Ayah jangan ngeledek. Tahu sendirilah. Bahu dan punggungku masih terasa berat kalau jalan sendirian malam-malam. Serius Yah, aku mau minta ke Pak Camat agar kebunnya yang membentang dari belakang rumah kita hingga masjid itu dimanfaatkan. Daripada jadi hutan semak belukar mending ditanami pohon-pohon produktif.

Btw. aku juga sudah beberapa kali minta ke Pak RT agar lampu di sepanjang jalan dinyalakan lagi. Tapi enggak ada tanda-tanda realisasi. Aku belum dianggap sebagai kepala keluarga kayaknya, Yah.

Aah, lagi-lagi aku ngomongin masalah. Oke, oke ... ganti topik. Ini laporanku tahun ini.

Pertama, tentang Ibu. Perkembangan bagus, Yah, Ibu enggak lagi mengajar bimbel privat ke rumah-rumah murid. Tapi murid-muridnya yang datang ke rumah. Ini lebih ringan buat Ibu. Enggak habis waktu di jalan. Jihan pun senang karena murid-murid Ibu bisa jadi teman-temannya.

Mmm ... anu Yah, aku sempat berpikir ... eh, maafkan aku sebelumnya. Tapi kupikir, mendiang Ninin benar, Ibu masih muda. Aduh, gimana ya aku bilangnya. Bukan berarti Ibu kepengin, aku juga enggak pernah lihat ada lelaki lain di sekitarnya. Ibu fokus mengurus kami.

Tapi apa kemungkinan itu enggak apa-apa buat Ayah? Andaikan ada lelaki yang baik mendekati Ibu gitu?

Aku enggak pernah bicarain ini sama Ibu. Bicara serius setelah aku paham, maksudnya. Kalau yang dulu itu kan cuma omongan anak kecil yang lagi sedih ditinggal ayah secara mendadak lalu sahabatnya nawarin papinya sendiri.

Haha. iya Yah, kalau diingat-ingat, selalu bikin ketawa. Waktu itu kami baru naik kelas 6. Enggak lama setelah Ayah pergi. Rayn enggak tahan lihat Ibu dan aku selalu sedih ingat Ayah. Makanya ujug-ujug saja bilang mau share papinya sama kami. Aku jawab, boleh juga.

Ardi's Checkpoints A-ZWhere stories live. Discover now