Tumben sekali senyum perempuan itu tidak menyebalkan.

"Mau kemana?" tanyanya dengan nada serak, ia mengucek matanya sambil menyengir. "Ikuttt,"

***

Perempuan dengan rambut tergerai itu merentangkan kedua tangannya sambil berlana di pinggir gedung yang amat tinggi itu. Ia sibuk menyeimbangkan badannya sambil sesekali menoleh ke arah laki-laki yang tengah duduk diam sambil memperhatikan jalanan.

"Senyum dong, ahela," komentar Aira dengan sebal dan akhirnya berjalan ke arah Ares dan duduk di sebelah laki-laki itu.

"Bawa happy aja, Res."

"Adik gue baru ninggal terus harus gue bawa happy aja gitu?" tanya laki-laki itu dengan pelan, ia terkekeh pelan.

"Apa ya," Aira menyelipakn rambutnya ke belakang telinga, "kita gak bisa menahan orang yang emang gak mau dipertahankan."

Ares menoleh beberapa detik, lalu kembali memandang jalanan kota Jakarta yang tidak pernah mati ini. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, memilih diam.

"Semua yang kita lakukan itu adalah sebuah pilihan. Lo mau sekolah, itu adalah pilihan. Lo mau diam itu adalah piliha. Lo mau jadi peluaki, itu adalah pilihan." Ada jeda sejenak dan Aira menghela napas. "Dan lo mau hidup itu juga pilihan."

"Kenapa lo jadi bijak?" Ares terkekeh, amat pelan.

"Gue kalau liat orang sedih jiwa-jiwa gue yang ingin menasehati orang itu keluar," ia tertawa, amat cantik, "makanya gue bisa bijak."

"Memang gampang menasihati orang lain, yang susah itu menasihati diri sendiri."

"Itu sebabnya kita semua butuh orang lain, biar ada yang nasihati kita gitu lho,"

Ares mengangguk sambil sambil tersenyum tipis. Percakapan ini membuat suasana hatinya menjadi sedikit lebih baik dari sebelumnya. Entahlah, rasanya seperti ringan saja.

Aira tertawa pelan, lalu menarik kepala Ares dan meletakkannya di bahunya. Tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi Ares dengan pelan.

"Jangan sedih terus dong Ares, kita hidup untuk merasa hidup bukan untuk merasa sedih."

"Lo tau, Ra, hal yang dari dulu gue hindari?"

"Gue?"

Laki-laki itu tertawa pelan, mengaitkan jari-jarinya pada jari-jari kurus Aira.

"Gue paling benci buat Papa kecewa. Rasanya, kayak, apa ya, gue merasa berdosa tiap kali Papa kecewa. Dia melakukan semuanya buat gue sebagai anaknya, masa sih, gue harus mengecewakan dia?"

Perempuan itu memiringkan kepalanya, hingga kepala mereka bersentuhan.

"Semenjak Mama meninggal, Papa ngurusin gue sama Aga, sendirian. Habis pulang kerja, masih menyempatkan untuk main sama gue dan Aga, bertanya masalah sekolah, PR, teman, segala macem. Kebayang gak seberapa lelah itu semua?"

Entah kenapa aroma minyak kayu putih dari leher Aira begitu menenangkan Ares.

"Setelah yang dia lakuin dan gue masih buat dia kecewa itu kayak, gue gak tau diri. Harusnya gue bayar lelahnya dengan sebuah kebanggaan, bukan dengan kekecewaan. Papa emang gak pernah nuntut gue harus buat dia bangga, satu-satunya keinganan dia ya Cuma mau liat anaknya bahagia."

Laki-laki itu menghela napa dengan berat.

"Papa harus mendapatkan hal yang layak dari sebuah kekecewaan. Janji gue, gue akan buat Papa tersenyum tanpa sadar karena bangga. Tapi waktu tau Aga pakai narkoba, gue merasa dihantam sama sesuatu yang gue gak tau itu apa. Sebuah rasa kecewa tanpa batas yang gak mungkin bisa dimaafkan sama diri gue sendiri. Lalu," Ares tersenyum kecut. "waktu dia bunuh diri, entah kenapa gue merasa takut. Takut Papa kecewa kalau gue gak bisa jaga adik gue."

"Itu pilihan dia Res. Mau dia bagaimana pun itu pilihan dia. Dia sedih, itu pilihan dia. Dan memilih mengakhiri sedih dengan bunuh diri itu pun pilihan dia."

Ares tidak berkomentar.

"Lo juga bukan manusia sempurna Res. Apapun yang udah lo lakuin, gue yakin kalau lo udah berusaha semampu lo untuk jaga dia."

Lalu kedua terdiam beberapa saat, menikmati keheningan pagi ini. Saling mengerti tanpa berbicara.

Mungkin Aira benar, itu pilihan Aga. Ares bukan tuhan yang bisa mencegah itu semua terjadi. Ia hanya bisa berusaha.

Terkadang, manusia tidak sadar dengan apa yang dia pilih. Banyak manusia yang sedih karena memilih terkurung di dalamnya, menyalahkan keadaan, dirinya dan masalah lalu. Ia tidak sadar dia sudah memilih dan anehnya dia tidak sadar juga kalau dia bisa mengubah pilihan itu.

Kamu bodoh karena kamu memilih tidak mau belajar. Kamu senang karena kamu tidak memilih sedih. Kamu sukses karena kamu tidak malas-malasan.

Terkadang kita sendiri yang mempersulit semua keadaan dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawab.

Dan Ares juga sudah memilih.

"Makasih, Ra," kata laki-laki itu dengan senyum yang tulus. "Makasih untuk semuanya."

"Hahaha, iya, iya,"

Lalu keduanya berbincang-bincang dengan hangat, dengan Ares yang mulai kembali sama seperti Ares yang Aira kenal. Menunggu fajar memberitahu bahwa hari ini adalah lembaran barumu, namun pelajari juga lembaran lama agar tidak kembali mengulang kesalahan.

"Ares, peluk gue," kata Aira sambil merentangkan kedua tangannya.

Laki-laki itu tersenyum tipis, berdiri tegak dan merangkul Aira yang amat manja padanya.

Nyatanya, walaupun senyumnya sudah terbit, luka di dada Ares masih menganga lebar, masih basah dan terasa sakit. Kamu tersenyum bukan berarti semua baik-baik saja, kadang itu hanya petunjuk bahwa kau kuat.

"Gue mau mulai hidup baru, Ra." Bisik Ares di tengah kesunyian, disaat fajar perlahan menggeser malam untuk bergantian.

"Bagus dong! Gue dukung lo!" kata perempuan itu dengan senyum lebar.

Ares hanya tersenyum tipis. Mencoba menikmati fajar yang menyingkirkan malam dengan tangan saling menggenggam.

***

Ig : blackrose.story

Burem mata gue nulis ini. Hm.

Unsteady Where stories live. Discover now