Suara detak jam itu menemaninya dengan setia. Ares ingin marah, tapi pada siapa? Pada Tuhan? Pada dirinya sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuatnya lelah. Pertanyaan yang tidak memiliki jawaban itu hanya berputar-putar di otaknya yang sibuk membuat asumsi. Asumsi siapa yang sebenarnya salah.

Berjam-jam ia sibuk memikirkan itu sampai sebuah suara yang terlalu amat ia kenali terdengar, mengoyak keheningan yang ia bangun.

"Res.." suara itu diiringin ketukan kecil pada pintu, "I'm here,"

Ares memandangi kramik itu, membentuk pola-pola abstrak dengan telunjuknya.

"I'm here, you wanna talk to me or not, i'm here," suara yang biasanya membuat Ares kesal kini entah mengapa tiba-tiba saja terdengar membantu dirinya.

"Hal yang harus lo ketahui adalah itu bukan salah lo, Ares. Bukan. Itu bukan salah siapa-siapa."

Tapi Ares sudah berjanji bahwa ia akan bertanggung jawab atas Aga, menjaganya.

"Itu semua pilihan dia. Dia yang memilih pergi dari lo. Dia yang memutuskan itu semua dan lo bisa apa dengan pilihan dia yang sama sekali gak lo ketahui?"

Perempuan yang sedang duduk bersandar pada pintu itu memegang pintu kayu itu. "Mau dia hidup atau enggak, itu pilihan dia. Bahagia itu piliha, begitupun kesedihan. Dia yang larut dalam kesedihan itu sampai akhirnya memilih bunuh diri."

"Lo Ares bukan Tuhan." Aira mengusap air matanya. "Lo gak bisa salahin diri lo atas takdir yang udah dia pilih."

Laki-laki itu menghela napas.

"Itu keputusan dia, Res."

***

Pandangan matanya yang tajam melihat lurus ke batu nisan itu. Laki-laki itu melihatnya dengan hampa.

Acara doa itu sudah selesai, teman-teman dekat Aga dan Ares datang, membuat suasana pemakaman itu nampak ramai. Ucapan-ucapan duka itu membuat telinganya tuli. Perlahan, mereka mulai bubar dengan menepuk bahu Ares, seolah berkata kamu harus kuat.

Keluarga besar Mama dan Papa juga datang, tidak berkata banyak, hanya menangis pelan lalu memeluk Ares yang sudah kaku.

"Res, udah," Agung yang ada di samping laki-laki itu berbisik sambil mengusap bahu sahabatnya. "gue khawatir kalau lo terus diam."

Rafi melirik mereka, namun tidak ikut berbicara. Ia sudah terlalu hapal kalau Ares sedang dalam keadaan marah, sedih atau semacamnya laki-laki itu akan diam selama yang ia mau, tidak peduli keadaan sekitarnya.

Karena bagi Ares, diam adalah cara terbaik untuk menjelaskan sesuatu.

"Tante tunggu di rumah, sayang." Wanita dengan kacamata hitam itu tersenyum, "Jangan lama-lama disini," pesannya pada keponakannya itu.

Ares diam saja dan wanita itu mengerti kalau Ares mendengarkannya, namun hanya saja ia tetap diam.

Perlahan, suasana makam itu mulai sepi, meninggalkan Aira, Agung dan Rafi yang tidak tahu harus berbuat apa. Yang mereka tahu, mereka disini agar Ares tidak merasakan sendiri.

"Ya Tuhan..." itu kata pertama yang ia keluarkan setelah hampir satu harian terdiam, laki-laki itu berjongkok, "gue bener-bener gak tau harus marah sama siapa.." katanya diiringi getaran kecil. Laki-laki itu mengusap rambutnya.

"Ares.." Aira menarik kepala laki-laki itu dan meletakkannya di bahunya, Rafi mengusap bahunya dan Agung terdiam kaku.

"Aga melakukan itu karena marah sama gue," bisik laki-laki.

Didengarkan adalah salah satu solusi untuk seseorang yang sedang kalut. Mungkin dengan diamnya mereka itu bisa membantu Ares mengeluarkan ketakutannya.

Agung duduk bersila, telepak tangannya memegang tanah merah itu dalam diam, lalu kemudian melihat ke arah Ares.

Rafi dan Agung sudah berteman lama dengan Ares. Namun baru kali ini mereka melihat kerapuhan yang jarang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Bayangan kejadian yang dialami Ares seperti kehilangan Ibunya saat usia tujuh tahun, kehilangan ayahnya karena mendonorkan jantung pada laki-laki itu dan terakhir adiknya yang bunuh diri. Membayangkannya saja keduanya meringis bagaimana jika mereka yang ada di posisi Ares?

Lalu tidak lama kemudian mereka memutuskan untuk pergi. Dengan Ares yang semakin dingin dari sebelumnya.

***

 Gue mau cerita sedikit ya, jadi gue merasa aneh sama cerita ini. Sekitar dua hari lalu kan gue lagi tidur terus memipiin Ares, serasa nyata banget, sumpah. Dan waktu bangun mata aku udah bengkak karena nangis, ga ngerti lagi gue woi. :(

Oke, gue akan fast update untuk menyelesaikan cerita ini. Terimakasih sudah membaca! Boleh dong di vote dan di komentari?

Btw, aku mau tanya, apasih yang kalian suka dari cerita Unsteady ini? Apalagi yang masih bertahan membaca padahal gue lama update?

(Insyaallah ini cerita bakalan selesai secepatnya, sekitar 1-2 minggu ini)

Unsteady Donde viven las historias. Descúbrelo ahora