- s u r p r i s e -

458 29 0
                                    

Kehadiran Dygta sore itu di lorong loker mengejutkan Diska.

Langkahnya berhenti sejenak, matanya melotot, dan bibirnya sedikit membelah. Berbagai pertanyaan dan pemikiran memenuhi otaknya seperti rumus yang diturunkan. Setelah kesadarannya dikembalikan, Diska menelan ludah kaku. Cewek itu menghirup napas dalam-dalam ketika rongga dadanya tiba-tiba menyempit. Dia menghampiri Dygta langkah demi langkah dengan jantung yang berpacu lebih cepat.

Lorong loker itu sepi karena memang bel pulang sekolah sudah berbunyi satu setengah jam yang lalu. Tidak banyak anak yang masih berkeliaran di sekolah. Dygta bersandar pada pintu loker bernomor 99 di belakangnya. Loker milik Diska. Dia sedang menunggu cewek itu selesai latihan paskib di lapangan.

Cowok itu menunduk sambil mengetukkan ujung sepatunya ke lantai koridor berwarna putih. Pandangannya terpancang pada amplop coklat berhiaskan garis-garis besar biru merah yang berada di genggaman tangan kanannya. Desahan berat keluar dari sela bibir Dygta mengingat apa-apa yang telah dia tuliskan sebagai isi surat di dalam amplop tersebut.

Langkah-langkah pelan yang menggema di lorong menandakan kehadiran seseorang selain dirinya. Dygta menoleh ke arah sumber datangnya suara tersebut. Cowok itu praktis menegakkan punggung ketika ditemuinya Diska yang masih mengenakan seragam latihan milik ekskul paskib sekolahnya.

Dygta menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum canggung. "Hi!" sapa cowok itu dengan lambaian kaku. Matanya lurus menatap figur cewek berkuncir kuda di depannya tak berkedip. Mendadak, Dygta diserang kegugupan ketika otaknya mulai merancang apa saja yang akan dia ucapkan.

Ada rindu yang mengalir dari setiap sisi bagian tubuhnya. Menelusup bersama arus darah. Berkumpul menjadi satu. Bergejolak dan mendobrak untuk dilampiaskan. Namun semampunya Dygta menahan diri untuk tidak melakukan kesalahan. Melakukan hal-hal yang justru akan membuatnya menyesal. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Sebisa mungkin, Dygta menahan untuk tidak merengkuh tubuh ramping itu ke dalam dekapannya untuk mendapatkan kehangatan yang dia rindukan. Sebisa mungkin, Dygta menahan untuk tidak melarikan jemarinya menelusuri setiap inci wajah itu. Sebisa mungkin, Dygta menahan untuk tidak bertindak bodoh dengan menautkan bibirnya dengan bibir merah jambu yang dulu pernah dia cecap rasanya.

Sekuat itu Dygta berusaha mengendalikan dirinya. Menahan ego yang menyiksanya. Hingga dadanya sesak dan serasa ingin meledak. Cowok itu memilih mengalihkan kesakitannya itu pada kepalan tangan hingga buku-buku jarinya memutih.

Sementara itu, Diska di depannya bukan tidak tahu. Diska bisa melihat semuanya dari sorot mata Dygta yang terpaku padanya. Sama seperti Dygta, cewek itu juga merasakannya. Merasakan apa-apa yang Dygta pendam. Merasakan rindu, terluka, sedih, kecewa, dan berbagai perasaan lain yang berkumpul menjadi satu hingga membuatnya sulit bernapas.

Berbeda dengan Dygta yang melarikan kesakitannya pada kepalan tangan, Diska melayangkan pukulan-pukulan ke dadanya. Berharap agar bongkahan gejolak perasaan yang menghimpit rongga dadanya itu bisa menghilang. Sebab sekeras apapun usahanya bernapas, hal tersebut belum cukup untuk membuat rasa sesaknya hilang bahkan mereda. Hingga pukulan yang entah keberapa kali dan sadar bahwa usahanya itu sia-sia, Diska menyerah. Tangan yang tadi digunakan untuk memukul dadanya terkulai lemas. Dan tanpa aba-aba, cewek itu menubrukkan dirinya ke dada Dygta. Menumpahkan tangisnya di sana. Meluapkan segala perasaan yang bergumul bersama air mata yang luruh dan isakan tertahan.

Satu detik, pelukan itu membuat Dygta linglung. Cowok itu seperti tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Dua detik, hatinya berdebat dengan logika. Logikanya berkata agar Dygta tidak membalas pelukan itu dan memisahkan Diska dari dadanya. Sementara hatinya berpendapat kebalikan. Dygta bingung harus menuruti kata hati atau logikanya. Sebab cowok itu tidak tahu apa yang akan terjadi seusai dia membalas pelukan Diska. Dygta tidak tahu bagaimana kondisi perasaannya setelah itu. Apakah hancur? Atau lebih hancur dari sebelumnya? Dygta tidak tahu. Yang pasti, tidak akan baik-baik saja.

Di detik ketiga, setelah pergulatan pikiran yang cukup hebat, akhirnya hatinyalah yang menang. Membuang keresahannya, Dygta membalas pelukan Diska. Mendekap cewek itu lebih erat untuk melampiaskan apa-apa yang telah coba dia tahan berbulan-bulan belakangan.

Mereka ada di sana. Mengungkapkan apa-apa yang tidak mampu dikatakan dalam bentuk kalimat dan mengubahnya lewat sebuah pelukan. Mungkin air mata dan kebisuan memang lebih cocok dibandingkan untaian kata yang akan lebih banyak menimbulkan goresan.

Di lorong yang sepi itu, dinding, ubin, deretan loker, pot bunga, bahkan keheningan menjadi saksi bahwa apa yang mereka mulai kini benar-benar telah berakhir. Dua tubuh yang saling mengikat itu bagai isyarat yang mungkin hanya mereka berdua yang paham bahwa ini adalah terakhir kalinya mereka bisa sedekat itu. Bahwa setelah ini, bagaimanapun segalanya tak akan lagi sama.


[„]

99 Letters to My Ex | √Where stories live. Discover now