Sosiologi 35

1.1K 86 1
                                    

Sejuknya udara di sini membuatku tambah nyaman. Duduk di atas rumput yang empuk di bawah pohon rindang dan teduh, sambil menikmati pemandangan danau yang berkilau. Ditemani beberapa orang yang juga tengah bercengkrama menyaksikan angsa-angsa berenang di danau.

Lalu, Angga muncul entah dari mana sambil membawa es krim. Sejenak aku mematung, rasanya seperti mimpi. Berada di tempat indah, bersama seseorang yang membuat hari kita lebih berwarna.

"Kenapa sih tiap ngeliat gue, selalu mendadak cengo?" suara berat cowok itu menyentak lamunanku. Dia sudah duduk di sampingku. Lalu menyodorkan es krim.

"Makasih," aku menerimanya sedikit gugup.

"Enak banget ya cuacanya, cerah tapi sejuk," ucapnya sambil memakan es krim.

Aku tak menjawab dan memilih diam.

"Vit, apa lo pernah menyerah dalam suatu hal?" Sepertinya Angga mulai mengajakku berfilosofi.

"Kalau lelah sering banget, sempat niat mau nyerah, tapi nggak pernah sampai beneran nyerah."

"Kenapa?"

"Gue nggak tau. Gue cuma ngerasa nyerah nggak ada gunanya. Sia-sia saja. Kegagalan itu pasti ada, tapi nyerah nggak ada dalam kamus orang yang pengen sukses. Lagipula, cuma orang pengecut yang milih untuk menyerah," terangku sambil menatap Angga. "Jadi, kalau masih ada harapan dan kesempatan, kenapa musti nyerah?"

Sudut bibir cowok itu melengkung. "Termasuk sayang sama gue, apa lo pernah nyerah?"

Telak! Kalau ini aku nggak bisa jawab. Emang bener-bener si Angga ini! Ngerusak suasana saja. Aku mendecak. "Ah elo mah," kesalku. Padahal, pipiku memanas.

"Kenapa nggak jawab?"

"Ngga," desahku lantas menatapnya lekat. "Kalau soal perasaan, kita nggak tahu. Poinnya, kenapa kita mesti terus berjuang sendiri sementara orang yang kita perjuangin bahkan nggak ngeliat kita? Nggak peduli pengorbanan kita. Itu sama aja kan dengan nyakitin diri sendiri. Dan kiasnya, mungkin bukan menyerah, lebih tepatnya berhenti untuk tidak terus menerus melukai hati. Berhenti demi untuk menjaga hati dan mencintai diri sendiri. Itu sih menurut gue."

"Sama aja kan dengan lo berharap sama sesuatu yang lo impikan, misalnya. Kenapa lo terus berusaha padahal lo selalu gagal?"

"Itu beda lagi. Dalam hal ini, itu dinamakan proses, Ngga. Proses meletihkan yang kita alami, semata-mata untuk menguatkan kita. Membuat kita terus berusaha lebih baik lagi. Beda ketika kita mencintai seseorang. Kalau memang bukan takdir, kenapa harus terus diperjuangin? Agama kan udah jelasin, kalau jodoh itu udah diatur. Jadi kita nggak bisa maksain atau ngerubah sesuatu yang udah tercatat kan?"

Hening. Aku tidak mendengar respon apa pun selama dua menit. Hanya suara gemerisik angin yang dihasilkan pohon. Aku membuang muka ketika sadar Angga sedang menatapku intens.

"Ini yang gue benci, Vit," akhirnya dia bersuara. Namun aku tidak mengerti perkataannya.

"Maksud lo?" tanyaku heran.

"Iya. Gue benci kenapa bisa ada orang yang sama di dunia ini hadir di hidup gue."

Keningku bertautan. "Sumpah, lo ngomong apaan sih, Ngga?"

"Elo, Vit, ngingetin gue sama seseorang. Tingkahnya, ambisinya, filosofinya, bahkan hobi kalian juga sama. Tapi sayang, dia lebih memilih ngejar impiannya dan ninggalin gue di sini."

"Siapa yang lo maksud?" tanyaku antusias.

"Namanya Kinan, sahabat gue dari kecil. Dari TK, SD sampai SMP selalu barengan. Ketika masuk SMA, gue dan dia pisah karena dia mutusin untuk sekolah di luar negeri. Gue sayang banget sama dia lebih dari sahabat. Dan gue benci karena sampai sekarang perasaan itu masih sama, padahal dia sama sekali nggak peduli sama gue."

Sesak. Itu yang aku rasakan sekarang. Ini lebih menyakitkan dari mengetahui kalau Angga sudah jadian dengan temanku sendiri. Karena sekarang aku mulai tahu, alasan sikapnya selama ini. Ternyata, di balik itu semua, Angga adalah sosok yang terluka.

"Apa itu alasannya?" Sekarang aku mulai mengerti. Tetapi Angga justru menggernyitkan alis. "Karena gue selalu ngingetin sama sahabat lo itu, terus lo seenaknya ke gue. Datang, singgah, terus pergi tanpa pamit. Supaya lo bisa bales dendam. Gitu?"

"Bukan gitu, Vit. Gue cuma, setiap kali ngeliat lo, gue selalu teringat sama Kinan. Dan saat itu, gue benci sama diri gue sendiri yang nggak bisa relain Kinan bahagia sama pilihannya. Gue egois karena menginginkan dia tetap di sisi gue."

"Segitu sayangnya ya lo sama sahabat lo itu?" aku mencoba tersenyum meski dadaku semakin sesak. Bahkan, pandanganku mulai kabur oleh sesuatu yang bergenang di pelupuk mata. Argh!

Angga terdengar menarik napas. "Kalau boleh jujur, iya. Sampai sekarang gue masih sayang sama dia. Dan gue nggak mau kayak gitu terus. Itu kenapa gue memilih pergi dari lo, Vit. Gue emang pengecut. Maaf," ucapnya sendu.

"Oke. Tapi, bisa lo jelasin kenapa waktu itu lo bisa pacaran sama Kina, padahal hati lo masih buat orang lain?" kutatap wajah cowok itu meminta penjelasan.

"Dia cuma pelampiasan," jawab Angga mantap.

"Jahat banget," desisku. "Terus... apa lo... pernah suka sama gue?" tanyaku ragu, deg-degan dan sedikit malu.

Angga memiringkan wajahnya, memandangku lekat. "Pernah. Sebagai teman. Sejak kelas sepuluh, gue suka deketin lo kan? Gue suka sama kepribadian lo yang mirip sahabat gue."

Bahuku langsung merosot, lalu nafasku keluar berat. "Intinya, lo deketin gue karena gue mirip Kinan. Huft... Gue emang terlalu berharap tinggi kayaknya," ucapku jujur.

Tawa kecil terdengar dari bibir Angga. Sejurus kemudian, tangannya terangkat dan mendarat di puncak kepalaku. Ia menepuknya dua kali. "Sabar ya, lain kali harus lebih berusaha," gumamnya dengan senyum sok imut.

Kusingkirkan tangannya dari kepalaku lantas aku mendengus. "Ngapain gue harus berusaha kalo udah gak ada harapan?"

Dia tertawa, lagi. "Siapa bilang?"

"Buktinya, lo lebih milih Piqni," ketusku. Pura-pura kesal.

"Hei, ternyata lo cemburu," cicitnya sambil menahan tawa. Tiba-tiba tangannya menarik pipiku sampai aku meringis. "Lo kenapa jadi orang jujur banget sih, bikin gue gemes."

"Bodoamat," ucapku dingin seraya mengusap pipiku bekas cubitan Angga. "Udah ah gue mau pulang!" Aku berdiri dan mulai melangkah meninggalkan cowok itu. Baru tiga langkah, dia bersuara menghentikan gerakan kakiku.

"Waktu kelas sepuluh, lo pendiem banget. Sekarang udah beda ya, jadi lebih gimanaa gitu," ujarnya nyinyir. Kuputar badanku dan menatapnya nyalang. Kemudian dia bicara lagi. "Iyalah pasti, gabungnya aja sama gerombolan kudanil anarkis. Haha."

Anjrit! Mataku melotot. "Heh, dasar cowok kurang ajar! Gitu-gitu mereka temen gue. Awas ya!" pekikku sembari berlari mengejar Angga yang sudah ngacir duluan. Saat itu, kami tertawa bersama.

Entah, sudah lama sekali aku baru kembali merasakan bagaimana caranya tertawa lepas tanpa beban. Rasanya ringan sekali.

Hari itu, meskipun kutahu kenyataan yang sebenarnya dan sempat menghancurkan hatiku untuk yang ketiga kali, namun entah kenapa aku malah merasa lega. Mungkin, Angga memang ditakdirkan hanya untuk memberiku pelajaran. Bahwa berharap kepada manusia hanya akan membuat hati kecewa.

Tetapi, hari itu, aku seakan menemukan jawaban dari segala pertanyaanku. Tentang perjalananku semenjak memasuki dunia putih abu sampai hendak berakhir. Aku sudah memutuskan untuk memulai kembali. Menata hatiku untuk petualangan yang tak lama lagi akan kulalui.

Aku bahagia dan bersyukur.

Meski rasa ini masih sama untuknya, namun aku akan mencoba menghapusnya pelan-pelan. Setidaknya untuk saat ini. Sebab, jika aku dan dia ditakdirkan bersama, Tuhan pasti selalu punya cara untuk mempertemukan lagi.

*******

-Inayivsil
-26-06-2018

Realitas Anak IPSWhere stories live. Discover now