Ekonomi 37

1.1K 82 0
                                    

Paru-paru basah. Itulah penyakit yang diderita Ibu Munir sampai akhirnya meninggal dunia di rumah sakit. Ternyata, itu sudah terjadi cukup lama.
Aku mendengarnya dari teman-teman yang sedang mengobrol ketika aku baru datang ke sekolah.

Hari ini, aku pikir Munir tidak akan masuk sekolah. Eh taunya, dia datang seperti biasanya. Tapi kali ini ada yang berbeda, tingkahnya masih sama namun matanya seperti memendam sedih yang teramat dalam. Aku bisa melihat itu. Mungkin juga teman-teman yang lain.

"Tapi ya udahlah, kita nggak usah ungkit-ungkit. Lagian kasian juga Munir. Sebagai teman yang baik, kita doakan saja semoga dia bisa bersabar. Buktinya, hari ini dia sekolah dan keliatan baik-baik aja kan?" ujar Giya pada aku dan teman-teman. Kami cuma mengangguk menyetujui.

"Ya. Semoga."

Mungkin dua atau tiga hari Munir berubah jadi lebih banyak diam. Masih berkabung atas kepergian Ibunya. Aku kira dia akan berubah gitu selamanya. Eh taunya, sikapnya kembali lagi seperti sebelumnya.

Ngejailin orang, ngerusak perlengkapan kelas, bertingkah anarkis, absurd, gak jelas. Dia berbuat seakan tidak pernah terjadi yang namanya kehilangan. Dia menjalani hidup seperti biasanya. Tertawa lepas, bersenda gurau, seolah tidak ada beban. Seolah lupa pada apa yang telah menimpanya.

Tetapi, lama-lama aku mulai paham. Bukan dia tak sedih. Bukan dia tak merasa kehilangan. Hanya saja, begitulah cara seorang Munir melupakan dukanya. Melupakan bagaimana pedihnya hidup tanpa hadirnya sosok seorang Ibu. Dia sedang berusaha menerima.

"Eanjirr, ini uprak atau nyiksa nih? Masa tiap mata pelajaran dipraktekin? Mana materinya banyak banget lagi. Emang bener-bener sialan nih sekolah!" Kebiasaan Dodo, suka omong gede. Udah gak sopan, suaranya keras lagi. Ya jelas teman-teman dari kelas lain langsung menatapnya gak suka.

Iya, jadwal Uprak memang ditempel di setiap jendela kaca di masing-masing kelas.

Saat itu aku tidak tahan untuk bilang, "Heh Dodo, masih mending kita cuma segitu. Gak ada ekonomi, gak ada sosiologi juga gak ada Geografi. Lo nggak liat noh, kelas IPA kasian dua kali lebih banyak dari kita. Ada Fisika, Kimia sama Biologi. Lo harusnya bersyukur dodol!"

"Gue gak peduli sama anak IPA, mau lebih dari itu juga bukan urusan gue pe'ak."

"Ya lo harusnya contoh dong anak IPA. Harus sanggup dan berani. Bukan cuma ngomong besar doang tapi hasilnya nol!"

"Ya udah terus aja belain anak IPA. Gak ada insyaf-insyafnya ya lo jadi cewek!"

Spontan aku melotot. Kenapa bahasannya malah ke sana? "Maksud lo apa ngomong gitu? Lo yang harusnya insyaf. Hidup kayak berandalan gitu juga masih berani ngatain orang."

"WOI UDAH KALI!" pekik Gino.

"Si Vita yang mulai duluan!" tuding Dodo.

"Enak aja! Elo yang ngatain gue, nyuruh gue insyaf tapi gak ngaca sama diri lo sendiri!" elakku tak mu kalah.

"Hadeuh," desah Gino sambil memasang wajah memelas. "Berantem aja terus."

"Ehem, ada apa ya ini kok ribut-ribut?"

"Ini si Dodo bin dodolipret bikin kesel aja, rasanya pengin gue..." Tunggu, kok rasanya ada yang nggak beres. Tiba-tiba saja aku baru ngeh dengan suara orang yang barusan bertanya di belakangku. Dengan pelan aku menoleh dan benar sangkaanku. Sosok Angga dan Uji dengan Piqni di tengah-tengah mereka kini berdiri di depanku. Seraya memandangku aneh.

Aku cuma bisa nyengir. "Eh kalian," ujarku malu.

"Heuh dasar cewek gak bisa move on!"

"Anjir, diem lo! Dasar dodolipret!" Ingin kusumpal mulut Dodo pakai kaus kaki. Tapi cowok kamvret itu udah ngacir duluan ke kelas.

Realitas Anak IPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang